Hari itu Sabtu. Daun berwarna hijau, kuning, dan cokelat mewarnai trotoar. Gelombang energi memenuhi jiwa Rona tepat setelah meninggalkan rumah.
Klakson mobil dan truk melaju kencang. Angin menerpa rambutnya, udara dingin membangunkannya.
Rona melirik jam tangannya. Masih ada sekitar tiga jam untuk mengunjungi perpustakaan kampus sebelum waktu tutup.
Perpustakaan Umum UGM berisi buku-buku yang berjejer rapi, semuanya ditumpuk dalam baris. Plakat bernomor besar tergantung di rak buku. Sistem desimal Dewey mengatur semuanya secara berurutan. Dia menyukai itu dengan nuansa buku tebal, tipis, pendek, tinggi, padat, ringan.
Profesor Himawan telah menjelaskan bagaimana filsafat adalah cinta kebijaksanaan.
"Kita mulai dengan beberapa pertanyaan dan terus menggali jauh di bawah permukaan pemikiran biasa. Apa yang nyata dan apa yang hanya penampilan? Bisakah kita menemukan kebenaran hanya dengan pikiran? Tanpa merujuk pada kenyataan? Realitas siapa yang kita konsultasikan? Bagaimana kita bisa mengkonjugasikan kata kerja menjadi? Apa adanya? Apa yang tidak? Apakah mungkin untuk mendefinisikan ketiadaan?"
Rona duduk di dekat jendela bus sambil menyaksikan ide-ide tumbuh di hadapannya. Ide-ide besar yang elegan muncul begitu saja tanpa usaha. Mungkin triliunan pikiran telah menghindar darinya sebelumnya. Mungkin pikiran menyembunyikan kotak penyimpanan yang aman, tempat mekanisme-mekanisme yang rumit menunggu untuk dibuka? Kombinasi tertentu menyebabkan pikiran-pikiran kita yang paling penting bermunculan.
Dia memikirkan pohon favoritnya, pohon kiara yang berdiri di sudut jalan. Pohon tinggi itu sepertinya selalu ada di sana. Mengingat musim hujan lalu bagaimana pohon itu berdiri dengan daun-daun yang bergoyang-goyang dalam pusaran hijau lemon melalui angin sepoi-sepoi yang hangat. Berbulan-bulan kemudian semua orang berkumpul di tempat yang teduh. Kemudian berpacu melawan tanda-tanda pertama musim kemarau, dedaunan jatuh ke tanah. Cokelat dan compang-camping. Apa yang dulunya musim hujan menjadi musim kemarau. Bulan memudar di balik pohon kiara. Samapai musim hujan kembali.
Sesampainya di rumah, dia mulai menyiapkan cokelat panas. Ketel itu berdesis, mendidih, dan akhirnya bersiul. Menghangatkan tangannya dengan cangkir yang mengepul, dia bersandar di ranjangnya. Udara panas telah padam. Sebuah buku catatan tugas kecil dan buku catatan spiral besar tergeletak di meja nakasnya.
Berulang kali meraba-raba halaman putih, menunggu untuk menuangkan pikirannya pada halaman-halaman itu. Setiap lembar harus diisi dengan pengetahuan yang ditulis dengan huruf yang indah.
Mendengarkan jam berdetak pelan dalam kegelapan, dia menunggu seolah-olah berada di tepi sesuatu. Sampul buku catatannya yang mengkilap jatuh tertutup. Selimut dingin menutupi tempat tidurnya. Sambil mengenakan kaus kaki dan daster panjang, dia menggigil di antara seprai yang dingin.
Malam beringsut maju dengan ide-ide yang terlalu besar untuk sekadar beristirahat. Mereka harus dipertimbangkan di bawah cahaya bintang, di bawah bulan putih.
Bayangan membelainya lalu menyelipkan jubah panjang hitam ke tubuhnya.
Cikarang, 9 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H