Pemandangan di sini membuatku tertekan saat pertama kali melihat ke luar jendela depanku yang besar. Pagar-pagar itu semuanya berwarna abu-abu atau cokelat, megah dan tampak tidak bersahabat. Rumah-rumah di belakangnya tidak berwajah. Penghuninya tidak terlihat.
Aku bisa merasakan hawa panas merembes melalui jendela bahkan ketika AC menyala. Di luar, efek hawa panas terlihat di mana-mana. Halaman rumput cokelat yang usang, bunga-bunga yang terbakar, pepohonan, dan semak-semak. Lapisan debu membayangi matahari dan semakin pekat seiring berjalannya hari. Segala sesuatu di lingkungan baru ini tampak terlalu panas dan terabaikan.
Tanpa mengurangi hawa panas saat matahari menyentuh cakrawala, seorang tetangga berjalan dengan susah payah keluar dari rumahnya dan mulai membersihkan bunga hortensia yang mati dan sekarat di sepanjang pagarnya. Ketika dia mencabut tanaman dan menumpuknya, dia mencuci pagar.
Aku memperhatikan dan bertanya-tanya. Pagar akan berdebu lagi pada tengah hari. Pekerjaan itu tampak sia-sia di tengah cuaca panas ini.
Dia terus menyiangi dan mencuci saat matahari terbenam, dan kemudian aku melihatnya masih bekerja. Panasnya tidak hilang sepanjang malam, dan terasa menyengat lagi saat matahari terbit.
Karena bosan dengan pemandangan yang monoton dan suram, aku membuka tirai. Tetanggaku masih di sana, dan mendongak ke atas melihat ke arahku.
Aku membalas lambaiannya ketika melihat setiap pagar dicat dengan warna berbeda.
Dia tersenyum. Dan aku pun membalas senyumnya.
Cikarang, 8 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H