Syafri tahu hidupnya telah berakhir begitu aku menepuk bahunya.
"Ada yang ingin kukatakan padamu."
"Kenapa aku? Kenapa sekarang? Aku sudah menulis semua suratku, mengirim semua suratku, menyampaikan semua doa."
"Bukan aku yang menentukan. Aku hanya pembawa pesan."
Syafri tewas dalam serangan berikutnya, tentu saja. Kami berduka atas kematiannya seperti yang kami lakukan pada yang lain dalam perang yang tak berkesudahan ini.
Penerawangan itu dimulai saat aku ditempatkan di Kompi ke-19. Awalnya, aku tidak mempercayainya. Namun, penerawangan itu begitu jelas. Dan begitu spesifik. Pada penerawangan keempat, aku tahu penglihatan itu nyata. Sebuah pesan dari Tuhan.
Awalnya, aku mencoba menjaga Sasaran. Sepatah kata kepada komandan, mengobrol dengan rekan-rekan mereka, bahkan sekali aku berbicara langsung kepada mereka, memperingatkan mereka untuk menjaga diri mereka sendiri. Namun, tidak ada yang berubah.
Aku ada di sana saat pemakaman, menyampaikan khotbah yang sama, melantunkan doa yang sama, menulis surat yang sama kepada keluarga mereka, berharap bisa berbuat lebih banyak.
Suatu kali aku dipindahkan ke unit Sasaran untuk penyerangan. Namun, dia mendorongku ketika musuh mendekat dan menerima serangan itu dengan tubuhnya sendiri. Saat itulah aku menyadari bahwa semua yang aku lakukan adalah menentang keinginan Tuhan. Dia memberiku penerawangan ini karena suatu alasan.
Aku harus mempersiapkan Sasaran untuk kematian, bukan mencoba mencegahnya. Tuhan memberiku waktu untuk melakukan pekerjaanku.