Syafri tahu hidupnya telah berakhir begitu aku menepuk bahunya.
"Ada yang ingin kukatakan padamu."
"Kenapa aku? Kenapa sekarang? Aku sudah menulis semua suratku, mengirim semua suratku, menyampaikan semua doa."
"Bukan aku yang menentukan. Aku hanya pembawa pesan."
Syafri tewas dalam serangan berikutnya, tentu saja. Kami berduka atas kematiannya seperti yang kami lakukan pada yang lain dalam perang yang tak berkesudahan ini.
Penerawangan itu dimulai saat aku ditempatkan di Kompi ke-19. Awalnya, aku tidak mempercayainya. Namun, penerawangan itu begitu jelas. Dan begitu spesifik. Pada penerawangan keempat, aku tahu penglihatan itu nyata. Sebuah pesan dari Tuhan.
Awalnya, aku mencoba menjaga Sasaran. Sepatah kata kepada komandan, mengobrol dengan rekan-rekan mereka, bahkan sekali aku berbicara langsung kepada mereka, memperingatkan mereka untuk menjaga diri mereka sendiri. Namun, tidak ada yang berubah.
Aku ada di sana saat pemakaman, menyampaikan khotbah yang sama, melantunkan doa yang sama, menulis surat yang sama kepada keluarga mereka, berharap bisa berbuat lebih banyak.
Suatu kali aku dipindahkan ke unit Sasaran untuk penyerangan. Namun, dia mendorongku ketika musuh mendekat dan menerima serangan itu dengan tubuhnya sendiri. Saat itulah aku menyadari bahwa semua yang aku lakukan adalah menentang keinginan Tuhan. Dia memberiku penerawangan ini karena suatu alasan.
Aku harus mempersiapkan Sasaran untuk kematian, bukan mencoba mencegahnya. Tuhan memberiku waktu untuk melakukan pekerjaanku.
Awalnya, tentu saja, para prajurit tidak mempercayaiku. Namun, segera tersebar kabar bahwa aku mampu meramal masa depan. Aku dihindari, dijauhi. Namun, ada sesuatu yang lebih terjadi. Tuhan ada di pihak kami.
Baik itu patroli standar atau penyerangan habis-habisan, selalu hanya satu orang yang tewas. Hanya satu. Orang yang aku lihat dalam penerawangan itu. Sasaran.
Satu orang tewas, tetapi banyak yang selamat. Pengorbanan darah untuk menenangkan Tuhan.
Rombongan berkumpul. Khotbahku tidak pernah lebih banyak dihadiri. Semua prajurit di kompiku sekarang tahu bahwa seseorang pasti akan mati. Namun, alih-alih terpecah, pengetahuan itu justru membuat para prajurit semakin dekat, satu sama lain, dan dengan keluarga mereka. Beberapa bahkan menulis surat kepada keluarga teman-teman mereka, membentuk kelompok doa. Bahkan ada pembicaraan tentang menghubungi musuh dan menawarkan diri untuk berdoa bagi mereka. Mereka yang tidak ditandai untuk mati merasa tidak bisa dihancurkan. Bahkan sasaran-sasaran tersebut tampaknya menerima nasib mereka dengan tenang. Mereka tahu keluarga mereka akan diperhatikan.
Resimen ke-19 mendapat semua misi terberat. Namun, mereka berhasil. Kami berhasil. Kami tak terkalahkan.
Dan kemudian penerawangan itu berhenti. Sehari sebelum pertempuran terakhir. Serangan untuk mengakhiri semua serangan. Akhir dari perang ini.
Apakah Tuhan sedang mengujiku?
Mungkin keyakinan baru kompi itu tidak cukup kuat? Mungkin aku telah gagal dalam misiku. Kemudian aku tahu apa yang harus kulakukan.Â
Aku yang memilih sasaran itu...
Syauki tahu hidupnya telah berakhir begitu aku menepuk bahunya.
Cikarang, 5 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H