Awalnya, tentu saja, para prajurit tidak mempercayaiku. Namun, segera tersebar kabar bahwa aku mampu meramal masa depan. Aku dihindari, dijauhi. Namun, ada sesuatu yang lebih terjadi. Tuhan ada di pihak kami.
Baik itu patroli standar atau penyerangan habis-habisan, selalu hanya satu orang yang tewas. Hanya satu. Orang yang aku lihat dalam penerawangan itu. Sasaran.
Satu orang tewas, tetapi banyak yang selamat. Pengorbanan darah untuk menenangkan Tuhan.
Rombongan berkumpul. Khotbahku tidak pernah lebih banyak dihadiri. Semua prajurit di kompiku sekarang tahu bahwa seseorang pasti akan mati. Namun, alih-alih terpecah, pengetahuan itu justru membuat para prajurit semakin dekat, satu sama lain, dan dengan keluarga mereka. Beberapa bahkan menulis surat kepada keluarga teman-teman mereka, membentuk kelompok doa. Bahkan ada pembicaraan tentang menghubungi musuh dan menawarkan diri untuk berdoa bagi mereka. Mereka yang tidak ditandai untuk mati merasa tidak bisa dihancurkan. Bahkan sasaran-sasaran tersebut tampaknya menerima nasib mereka dengan tenang. Mereka tahu keluarga mereka akan diperhatikan.
Resimen ke-19 mendapat semua misi terberat. Namun, mereka berhasil. Kami berhasil. Kami tak terkalahkan.
Dan kemudian penerawangan itu berhenti. Sehari sebelum pertempuran terakhir. Serangan untuk mengakhiri semua serangan. Akhir dari perang ini.
Apakah Tuhan sedang mengujiku?
Mungkin keyakinan baru kompi itu tidak cukup kuat? Mungkin aku telah gagal dalam misiku. Kemudian aku tahu apa yang harus kulakukan.Â
Aku yang memilih sasaran itu...
Syauki tahu hidupnya telah berakhir begitu aku menepuk bahunya.
Cikarang, 5 Desember 2024