Kamu menggerakkan jari-jarimu perlahan. Tisu toiletnya tipis dan kasar, tisu satu lapis murah yang tidak dimaksudkan untuk lebih dari sekadar fungsinya, jauh berbeda dari kertas di hotel bintang 5 tempat kamu memulai. Tidak ada segitiga sederhana untuk tamu-tamu itu, tidak. Kamar-kamar biasa mendapat lipatan mewah yang diukir dengan lambang hotel, tetapi untuk pelanggan khusus, setiap pelayan kamar menyelesaikan akhir gulungan dengan bentuk khasnya sendiri. Bentukmu adalah burung merak. Variasi dari burung bangau origami dengan lilitan untuk jambulnya dan kipas berlipit untuk ekornya.
Kamu masih muda dan cantik saat itu, persendianmu  lincah.
Namun waktu berlalu, penampilan memudar. Kamu dilepaskan dari hotel bintang 5 dan secara bertahap bergeser turun dari hotel bintang 4 ke hotel bintang 3, lalu dari Best Western ke Super 8. Dan begitu radang sendi menyerang, bahkan penginapan melati yang bercita-cita tinggi tidak akan menerimamu.
Sekarang, kamu cukup bersyukur bisa bekerja di tempat yang dulunya Oyo sebelum kehilangan hak waralabanya.
Sekarang, saat kamu melipat tisu toilet, manajernya mengumpat dan meludah.Â
Masuk, selesaikan pekerjaan, keluar, katanya.
Tetap saja, kamu melakukannya. Kamu melakukannya di setiap kamar. Kamu melakukannya meskipun sakit di setiap ruas jari.
Perlahan, dengan hati-hati, kamu membuat burung merak untuk setiap pengemudi, pecandu, perempuan malam  yang cukup sial untuk berakhir di kamar-kamar ini. Mungkin kasar saat disentuh, tetapi kertas tisu murahan dapat membuat lipatan yang bagus dan rapi.
Cikarang, 4 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H