Semuanya bermula dari seekor gagak mati yang ditinggalkan di depan pintu di luar dapur. Sayapnya terlipat melekat ke tubuhnya, matanya tertutup rapat, kakinya melingkar ke tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda bagaimana dia mati atau dari mana asalnya. Aku gelisah, melihat bangkai yang tergeletak di sana. Mirip persembahan.
Aku tinggal sendiri. Aku suka tinggal sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa menyingkirkan bangkai itu kecuali aku. Aku memasang kantong palstik di tanganku untuk mengambilnya dan melemparkannya ke pagar tanaman. Bangkai hewan mati membuatku mual dan aku muntah di pagar tanaman di sebelahnya, dihantui oleh kenangan akan beratnya yang mati.
Keesokan harinya saya menemukan seekor kelinci, lehernya patah. Dulu dulu punya kucing sampai suamiku menggantungnya di lehernya. Dia mabuk dan aku bersembunyi. Dia meninggalkannya tergantung tinggi di pohon di luar jendela kamar tidurku.
Aku muntah sebelum cukup dekat untuk mengeluarkan kelinci itu. Tubuhnya kaku seperti mayat dan perutku mual melihatnya. Aku mengalihkan pandangan saat mendorongnya ke sekop dengan ujung sepatu. Bangkai kelinci itu bergabung dengan gagak di pagar. Aku menggunakan setengah botol pemutih untuk membersihkan darah dari anak tangga.
Aku datang ke sini untuk melarikan diri, bersembunyi dari pria kejam yang ingin menyiksaku. Aku merasa aman. Sampai sekarang.
Musang itu memulai mimpi burukku. Berlumuran darah dan babak belur dengan kaki patah. Makhluk malang itu, masih hidup, membungkuk seperti bola sambil gemetar, menjerit dengan lengkingan yang sangat mengerikan. Aku mengayunkan pintu hingga terbuka dan dia mencoba lari. Gerakannya lambat dan menderita ketika dia mencoba menyeret dirinya. Suara jeritannya menusukku sampai ke sumsum tulang.
Aku mungkin sudah membuang dua bangkai di pagar, tetapi aku percaya hidup dengan belas kasih, dan keadaan musang itu mengenaskan.
Aku tidak punya senjata apa pun. Aku tidak pernah ingin memiliki kekuatan untuk membunuh sebelumnya. Aku berkeliling di sekitar rumah dengan enggan, mempertimbangkan pilihan-pilihan, berharap kalau aku menunda, musang itu akan mengalami hal yang baik. Ternyata tidak, jadi aku harus melakukannya sendiri, dengan handuk tua yang diletakkan di atasnya dan batu bata.
Aku menangis lama setelah itu.
Malam itu mimpiku dipenuhi dengan darah, jeritan ketakutan, dan sensasi memuakkan karena memukul makhluk lain sampai mati. Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menonton drama musikal lama di internet, mencoba menghapus gambar-gambar gelap yang membekas di otakku.