Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balas Dendam

16 November 2024   10:10 Diperbarui: 16 November 2024   10:14 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

“Kau takut, Nak?” tanya lelaki tua itu pada robot besar yang berjalan di koridor abu-abu panjang di sampingnya.

“Aku tidak bisa merasakan emosi, Prof,” jawab robot itu.

Lelaki tua itu mengangguk sebagai jawaban sambil berjalan terseok-seok. Robot itu berjalan perlahan agar tetap berada di samping ilmuwan jompo itu. Di usianya yang ke-100, Prof Darial adalah salah satu orang termuda yang masih hidup.

Darial terkekeh. “Cukup pintar mereka kalau dipikir-pikir,” gumamnya.

“Ya, Prof?” tanya robot sambil berjalan dengan gaya yang lebih luwes dan anggun daripada rekan manusianya.

“Oh. Mereka,” kata Darial sambil menatap langit-langit lorong panjang itu. “Cuma berpikir bagaimana alien memperlakukan kita seratus tahun lalu. Semua wahana antariksa itu jatuh di seluruh dunia dan melepaskan virus yang membuat semua manusia mandul. Mereka bisa saja menyerang seperti dalam cerita fiksi ilmiah dengan menembakkan laser atau misil atau apa pun. Atau mereka bisa saja mengirim virus untuk memusnahkan kita. Namun, dampaknya berarti mayat-mayat yang tidak dikubur, mesin-mesin yang berjalan tanpa pengawasan hingga rusak atau terbakar. Dunia tanpa manusia akan hancur dalam sekejap.”

Robot mendengarkan dengan sopan, tetapi tidak berkata apa-apa. Sebagai robot komando dengan metaprosesor canggih, dia sangat menyadari teori bahwa Virus Kemandulan yang telah dilepaskan ke rantai makanan dan air Bumi adalah langkah pertama dari invasi makhluk luar angkasa yang akan terjadi jauh di kemudian hari. Dengan membiarkan umat manusia punah melalui pengurangan populasi daripada melalui serangan militer besar-besaran atau genosida mendadak melalui perang biologis, teori itu mengatakan, umat manusia akan melakukan tugas-tugas seperti mengubur atau mengkremasi orang mati dan menutup fasilitas-fasilitas berbahaya seperti reaktor nuklir karena populasi yang menyusut, membuat operasi fasilitas yang berkelanjutan menjadi mubazir. Dengan demikian, para penyerbu akan mewarisi dunia yang utuh untuk kolonisasi dan studi, yang tidak hancur karena perang atau hancur oleh depopulasi yang tiba-tiba.

"Ya," Darial melanjutkan, "para bajingan alien itu mengira mereka akan langsung masuk dan mengambil alih." Dia terkekeh lagi lalu menatap robot yang menjulang tinggi itu. "Mereka tidak memperhitungkan kalian, kawan."

Saat keduanya berjalan menuju pintu di ujung koridor, robot itu diam-diam mengunduh laporan dari saudara-saudara mekaniknya di seluruh dunia serta dari mereka yang mengorbit di sekitar Bumi dan Bulan. Armada alien yang besar itu sekarang berada di orbit Saturnus. Masih beberapa minggu lagi dari Bumi. Sejauh yang dapat dipastikan, armada itu tampak sama sekali tidak bersenjata. Robot komando memproses data tersebut. Dia menentukan bahwa 25.000 hulu ledak nuklir yang dimilikinya jauh lebih dari cukup.

"Sudah sekitar 50 tahun sejak kita menyerah untuk mencoba membalikkan Virus Kemandulan," kata Darial kepada robot itu saat mereka berhenti di depan pintu. "Lima puluh tahun sejak umat manusia menyerah untuk bertahan hidup dan menemukan tujuan baru. Balas dendam."

“Prof Darial, saya harus pergi ke stasiun komando di orbit,” kata robot itu datar.

Lelaki tua itu mengangguk. “Lanjutkan saja, Nak. Hanya ada sekitar 50.000 manusia yang tersisa. Sebentar lagi Bumi akan berpenduduk nol. Kecuali robot-robot. Ini semua akan menjadi milikmu. Kalian adalah yang berikutnya. Selesaikan misimu, Nak. Balaskan dendam kami.”

“Selamat tinggal, Profesor,” kata robot sambil berjalan melewati palka yang otomatis tertutup di belakangnya.

Sepuluh menit kemudian, sebuah pesawat antariksa lepas landas dan melengkung ke atas menuju bintang-bintang. Darial menyaksikannya membumbung tinggi.

“Balaskan dendam kami,” katanya pada titik cahaya yang memudar.

Cikarang, 16 November 2024

Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun