Saya berjalan melintasi hutan lebat setiap hari Minggu setelah kami pulang dari gereja. Itulah yang saya pikirkan sepanjang pagi. Ketika orang-orang berdoa di bangku gereja, saya berpikir untuk berjalan-jalan di hutan yang gelap.
Ibu saya berkata itu membuang-buang waktu. Saya bisa saja membaca sesuatu. Belajar.
Saya pikir berdoa adalah membuang-buang waktu. Saya tidak memberi tahu ibu saya tentang itu. Pada usia enam belas tahun, saya memahami bahwa kita semua adalah arsitek makna hidup kita sendiri. Ibu telah menemukan makna dalam doa. Saya menemukannya di hutan.
Hutan selalu sunyi. Saya mendengarkan dengan saksama kepakan sayap. Kaki-kaki kecil berlarian di atas jarum cemara. Angin mengangkat dahan-dahan pohon.
Saya menggaruk kulit pohon dengan tangan saya ketika saya mencium bau busuk. Saya pikir itu mungkin bangkai hewan. Saya mengikuti baunya.
Ternyata itu adalah bau seorang pria. Mati.
Anggota badannya terkapar. Awal pembusukan. Dia mulai bengkak.
Saya tidak melihat ada luka padanya. Dia mengenakan kemeja katun, jaket, dan celana jins. Sepatunya hilang. Jari kakinya ungu.
Saya menatap wajahnya. Matanya terbuka. Berkaca-kaca. Saya tidak takut. Saya kecewa. Wajahnya menegaskan apa yang  saya duga.
Hidup adalah kehampaan. Jiwa adalah fiksi. Jika sudah berakhir, maka berakhirlah sudah. Tugas yang ada di hadapan saya sulit. Menciptakan makna hidup saya sendiri dari tragedi kehidupan.