Warastan adalah negara yang aneh. Semuanya baik-baik saja dan mudah diatur. Kamu tidak akan terlalu marah di sana. Kamu tidak akan terlalu sedih. Begitulah adanya.
Setiap hari kamu bangun, mengangkat bahu dan berkata, "semuanya begitu-begitu saja." Baru setelah Tuhan memutuskanku untuk menjadi ekspatriat yang waras. Aku pergi untuk tinggal di Tepi Kiri Gilasia.
Si nenek penyihir tua meninggalkanku dengan enam anak kami lebih dari setahun yang lalu.
"Aku menemukan pria yang tampan," katanya mengejekku caranya yang kurang ajar.
Bagaimana aku bisa membesarkan enam anak? Yang tertua berusia sepuluh tahun dan sangat keibuan. Dia memberi makan dan memandikan para bajingan sementara aku bekerja.
Aku adalah seorang tukang cat rumah. Musim hujan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan di seluruh kota untuk mengecat kerusakan warna dinding akibat cuaca. Satu rumah tempatku bekerja adalah pendeta di gereja Ilmu Semesta setempat. Pendeta itu menjelajahi halaman belakangnya dan mengulurkan tangannya ke surga.
"Ya Tuhan. Tolong aku." Dia mengatakannya berulang-ulang lalu berbalik dan menatapku dengan senyum yang indah.
Aku pulang dan berjalan di lorong rumahku. "Tolong aku, Tuhan. Tolong aku," kataku.
"Pak, apa yang Bapak lakukan?" tanya si sulung.
"Tutup mulutmu dan suruh anak-anak itu diam."