Mahiwal menatap layar laptopnya dan bertanya-tanya.
Apakah itu pertanda hal-hal yang akan datang atau hanya entri lain dalam antrean panjang?
Tidak ada cara untuk mengetahuinya. Setidaknya tidak dengan kepastian apa pun. Bahkan mungkin kebetulan yang tidak disengaja.
Dia akhirnya menyerah pada tekanan itu. Dia tidak ingin dan selalu berkata bahwa dia tidak melihat alasan untuk melakukannya. Dan sekarang setelah dia melakukannya, dia masih tidak mengerti mengapa itu begitu populer, viral, muncul di mana-mana.
Dia begitu nyaman dalam keterasingannya. Begitu terisolasi dari apa yang dia anggap sebagai narsisme masyarakat yang malas. Bebas dari dogma yang menjengkelkan dari para ideolog di kedua sisi lorong yang berseberangan.
Kebodohan, pikirnya saat menelusuri kabut meme dan video konyol, pertunjukan kebodohan yang tak henti-hentinya dilakukan oleh orang-orang yang mengira bahwa mereka sedang menyajikan serangkaian fenomena menarik kepada dunia.
"Menarik bagi siapa?" tanyanya keras-keras.
Tentu saja bukan bagi dia!
Seharusnya menjadi cara yang bijaksana. Sebuah alat, sebuah perangkat.
Apakah hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan? Apakah akan ada hasilnya?
Tidak seorang pun dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Beri waktu, kata mereka. Hanya waktu yang dapat menjawab.
Bisakah? Atau tidak?
Tidak ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu juga.
Abaikan saja apa pun yang tidak menarik bagimu, kata mereka.
Mudah untuk mengatakankalau seseorang itu memiliki kepribadian yang mampu mengabaikan apa pun yang mengganggu.
Dia iri pada orang-orang yang bisa, setidaknya dalam satu hal. Tetapi kemudian dia bertanya-tanya tentang kemampuan itu pada orang lain dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi mereka dengan cara lain, cara mereka sendiri merancang atau cara persepsi dalam spektrum yang lebih luas.
Apakah dia menjadi filosofis atau sekadar bereaksi terhadap rangsangan lingkungan?
Dan kini dia kembali ke titik awal.
Semua itu adalah reaksi terhadap rangsangan lingkungan.
Penghinaannya, kebenciannya, perjuangannya yang terus-menerus untuk mempertahankan keseimbangannya dalam menghadapi masyarakat yang ia lihat runtuh di depan matanya.
Apakah itu semua reaksi terhadap rangsangan?
Dan kini, setelah akhirnya menyerah, menyerah pada tekanan, bukankah dia hanya bereaksi terhadap rangsangan?
Dia mencoba merasionalisasikannya, tetapi tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu juga.
Akhirnya dia membuka akun Facebook dan menyaksikan refleksi wajahnya nya sendiri.
Cikarang, 4 November 2024
Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H