"Dia bilang dia mencintaiku, tapi semuanya sudah berakhir," kataku pada ibuku. "Enam tahun, sia-sia. Apa yang akan kulakukan?"
"Masukkan saja ke sakumu dan lanjutkan hidup."
Itulah yang selalu dilakukan ibuku. Di hari yang buruk, dia akan mencercaku. Dia akan menghiburku dengan suaranya yang serak yang berasal dari seumur hidup yang menghisap sebungkus rokok kretek tanpa filter sehari. Dia akan berbicara tentang kekhawatiran yang nyata, tentang membayar sewa rumah dan memberiku makan.
Aku terlahir untuk khawatir. Aku tidak bisa melawannya, sama seperti matahari butuh terbit setiap pagi.
Di hari-harinya yang lebih baik, ibuku akan mendengarkan kekhawatiranku. Mengembuskan napas nikotin dan permen jahe pedas, jari-jari yang terawat baik menutupi kekhawatiran itu. Sebuah kotak imajiner diletakkan di atas meja dapur di samping asbak penuh dan ampas kopi yang begitu pahit hingga membakar.
"Ayo, berikan saja," katanya sekarang, sambil menyelipkan sebatang rokok di antara bibir merah kehitamannya yang membeku.
Dengan tangan gemetar, aku menyerahkan kekhawatiran itu padanya. Tangannya yang keriput bergerak seperti sedang membungkus sesuatu. Dia mengembalikannya padaku.
"Teruskan. Simpan di sakumu. Jauh dari pandangan, jauh dari pikiran."
Jadi, yang ini kusimpan dalam-dalam di saku belakang celana 501-ku. Aku mendorongnya ke bawah, memaksakannya melewati rasa tidak aman, penyesalan, dan kesempatan yang hilang sambil menyadari bahwa kalau aku tidak berhati-hati, celana itu akan robek.
Cikarang, 21 September 2024