Kamu menunggu fajarku saat langit dipenuhi cahaya putih susu dan nada stakato yang manis merdu.
Dan menawarkanku kicauan burung pagi.
Begitu kakiku bekerja, kita berjalan di tanah ladang yang lembap untuk mendengarkan langit. Tanganku yang kecil terlipat di tanganmu yang tebal dan pendek. Dengarkan, katamu, tahun demi tahun.
Kicau pertama burung kedasih!
Dan hari-hari panjang masa kanak-kanakku dan kicauan burung terbentang sepanjang musim seperti halaman-halaman buku bergambar.
Burung-burung dan suaranya, kamu persembahkan sebagai hadiah: kicauan burung hitam di pagi hari. Burung branjangan tinggi di atas gumuk pasir. Ekor burung srigunting yang menjungkirkan air kolam. Angsa pucat melesat ke selatan. Lagu musim hujan burung bulbul yang melankolis.
Aku pikir akan selalu seperti ini: kamu tidak memperingatkanku bahwa kamu akan pergi. Gubuk pantai yang ditutup selama musim hujan masih di sana, tetapi terkunci.
Lihat Ayah, burung apa itu?Â
Kamu membuka matamu dan perlahan menoleh.Â
Seekor burung pipit, katamu tanpa ekspresi, dan memejamkan mata lagi.
Pada tahun terakhirmu, aku mengayuh sepeda melintasi pulau yang jauh darimu. Tetap saja, kamu mengirimkan hadiah-hadiah. Burung penyanyi dan burung dara hutan sepanjang Sungai Mahakam. Burung branjangan dan bangau sandang lawe di sepanjang Sungai Kanambiru. Burung kedasih ungu yang menemaniku melewati hari-hari di tepian Sungai Bajul Mati, hingga menghilang di suatu tempat di Gunung Baluran.
Saat aku pulang, kamu sudah pergi.
.
Cikarang, 19 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H