Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

El Zorro

17 September 2024   07:11 Diperbarui: 17 September 2024   07:18 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Kalau karena cuaca ekstrem, winter is coming, dan suatu malam akan turun salju di Jakarta, aku akan mengubah diriku menjadi pria Latin berkulit gelap, dan memaksa semua orang memanggilku El Zorro.

Aku mencuri handuk merah tua dari lemari putih hotel dan berlari ke arah Gondhes, yang, setelah tahu kalau aku menjadi El Zorro, berubah menjadi Banteng Trengginas (atau El Toro, seperti yang mereka katakan di negeri La Furia Roja).

Kami berhasil memporakporandakan beberapa meja kafe dan beberapa kursi, yang membuat kami diusir ke jalan raya oleh satpam plaza.

Kami melesat ke salju. Satu orang menjejakkan kuku hewan ke dalam putihnya salju, yang lain menginjakkan kaki bersepatu matador yang halus dan nyaris tak terlihat di atas tanah yang padat dan tak bernoda. Dari beranda, gadis-gadis cantik bertopi sombrero menyemangati kami, melambaikan saputangan berenda  mereka, dan bersiul menggoda.

Kami melakukan pertempuran sengit di bawah terik matahari Kota Jakaarta. Para picador di atas kuda jantan yang gagah mengelilingi kami. Gerombolan penonton di tribun GBK bersorak-sorai tanda setuju, atau menyemprotkan anggur dari botol mereka langsung ke tenggorokan mereka tanpa sempat menelannya. Udara dipenuhi asap cerutu Havana dan rokok lisong jagung.

Pedangku tersembunyi di balik jubahku yang berliku-liku. El Toro, yang marah karena warna yang menyala-nyala handuk hotel itu, berbalik dan menyerang. Tanduknya menusuk tulang rusukku saat pedangku menusuk lehernya. Darahnya mancur melengkung di atasku, menghujaniku. Kakinya remuk, dia menatapku dengan iba, jatuh tertelungkup di pasir.

Darahku menetes di kepalanya.

Sambil memegangi sisi tubuhku yang terluka, aku melangkah maju, tersandung, dan sambil tertawa, berguling telentang.

Jauh di atas kami, langit malam yang dingin dan cerah  berkelip bintang-bintang.

Cikarang, 17 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun