Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangkrik

11 September 2024   20:08 Diperbarui: 11 September 2024   20:15 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seekor jangkrik betina dapat mendengar bunyi perut jangkrik jantan, bahkan dari lantai delapan. Dia tahu kalau jangkrik jantan menunggunya, mengenakan cangkang baru dan menempel di pohon mangga.

Selama tiga belas tahun, dia menggali dan bersembunyi, menggali dan bersembunyi, seperti mutiara pucat bidadari yang berlindung di tanah liat yang banjir. Terkubur sebelum waktunya. Dia memakan sari akar dan menunggu.

Dan sekarang, waktu untuk mengubur dirinya telah berlalu. Dia tidak lagi mengenakan kulit tanah yang keras seperti masa lalu. Kecemerlangan keberadaan hampir tak tertahankan. Warnanya hijau dan lebih besar dari yang dia impikan.

Dia duduk, terpesona oleh sinar matahari khatulistiwa dan suara tulang rusuk si jantan yang berderak. Dia dapat melihat jantannya dari sini, hanya berupa titik, tetapi bahkan dari jarak ini, dia tahu jangkrik jantan itu balas menatapnya. Melalui sepuluh matanya, si jantan adalah kaleidoskop bintik jangkrik bundar, serupa cermin retak dan bergerak serempak, memanggilnya ke bawah.

Dan kemudian suara yang lebih dekat. Di belakangnya, sepuluh betina berambut gelap dengan mata berbinar dan kulit sewarna awan, mengulurkan jari yang mengerikan ke arahnya.

Dia mendengar suara si jantan lagi, tulang rusuk kering saling bergesekan untuk mengatasi deru lalu lintas kota metropolitan dan sorak sorai anak-anak. Getaran itu memanggilnya.

Dia melihat ke bawah ke pohon mangga dan membayangkan masa depan yang akan diciptakannya: jutaan bidadari berkilauan memercik dari dahan-dahan, menghujani tanah di bawahnya, mengurapi tanah dengan diri mereka yang berkilauan.

Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang, kecuali melepaskannya.

Cikarang, 11 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun