Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jajaran Genjang

10 September 2024   09:51 Diperbarui: 10 September 2024   09:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Dia menggambar desain rumah-rumah yang dibangun untuk ditempati. Mempunyai klien tetap perusahaan-perusahaan properti, seorang istri yang sadar kesehatan dengan diet dan olah raga, serta dan dua orang anak dengan jarak terpisah dua tahun kelahiran, yang menonton kartun setiap hari Minggu sementara dia duduk bersama istrinya di kursi santai beranda dengan teh yang diseduh di teko porselen terbaik dari Cina.

Keraguan merayap masuk, menemukan celah antara napas masuk dan napas keluar, menyebar ke penjuru ruangan setelah satu lembar dan sebelum lembar gambar berikutnya.

Udara yang pekat membuat tangannya yang menggambar melamban. Dia berlari ke taman dan melihat seluruh lansekap kota dari puncak bukit. Blok-blok rumah petak di sebelah selatan, gedung-gedung menara kaca di sebelah selatan dan lanskap industri yang luas di belakangnya. Saat turun, dia bertemu dengan seorang wanita yang pernah dikenalnya, tersenyum, menuntun seekor anjing yang diikat tali kulit, dan topi yang dikenakan dengan syal rajutan yang diikat di belakang lehernya yang jenjang.

Dia mengingat hari-hari mereka di Jl. Pisang, mencium lehernya dalam cahaya lampu neon kuning yang mewarnai selimut decron yang disematkan dengan hati-hati sebatas pinggang.

"Aku sakit," katanya. "Tahun lalu dokter mengatakan aku seharusnya mati."

Malam itu dia bermimpi membongkar bangunan hidupnya, blok demi blok.

"Aku tidak mau teh lagi," katanya.

***

Musim kemarau, dia pindah ke apartemen studio kontrakan. Semua sudutnya miring dan dia berbaring diam. Sambil yoga pura-pura, dia membuat perkiraan: sembilan puluh tiga derajat di sudut kiri, delapan puluh tujuh derajat di sudut kanan.

Kamar itu kosong dengan hanya sedikit bau muntah dari karpet di bawahnya, dan dua kasur surabaya ditumpuk masih terbungkus plastik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun