Pohon-pohon lembayung yang harum wangi mengapit jalan sang pemantik lampu. Nyanyian burung branjangan menghiasi senja remang-remang. Sang pemantik lampu membawa tangga tinggi dan sumbu yang menyala melalui taman yang dilapisi batu alam. Dia berpindah dari satu lampu ke lampu besi tempa lainnya, dan mamastikan semuanya menyala.
"Halo, gadis tua," kata sang pemantik lampu begitu ia bertengger di anak tangga teratas.
Dia selalu merasa lebih dekat dengannya setiap kali dia berada di dekat selimut beludru langit. Anak-anak bintang mengedipkan mata untuk menyapa. Mereka menemukan, sejak awal, bahwa mereka tidak jauh berbeda, dia dan sang pemantik lampu. Keduanya menerangi dunia agar orang-orang dapat menemukan jalan mereka dalam kegelapan.
Rembulan tersenyum, memamerkan kawah lesung pipi. "Teman lama, kau tidak pernah datang untuk minum teh lagi."
Sang pemantik lampu mengangguk sungguh-sungguh. "Kalau begitu, kita harus benar-benar memperbaikinya."
Dia sudah berpikir tentang bagaimana dia akan membawa suguhan ke taman purnama. Sesuatu yang manis, atau mungkin sesuatu yang gurih yang cocok dengan kolam teh perak. Rembulan akan melihat hadiahnya dan tertawa riang, berkata, Kamu seharusnya tidak repot-repot. Kehadiranmu di sini sudah cukup.
Dia mungkin akan menjawab, Aku tahu kamu suka sesuatu untuk dikunyah bersama tehmu.
"janji kencan kita," kata bulan.
Pemantik lampu jalan bersiul lagu lama yang riang sepanjang jadwal tugasnya.
Cikarang, 23 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H