Aku membedah wajah yang balas menatapku dengan mata mengantuk di cermin. Kantong di bawah mata kini lebih menonjol---ukuran tebal dan gelap. Saat ini, insomnia lebih menjadi teman daripada musuh. Lebih disambut daripada dibenci.
Aku mengusap rambut yang acak-acakan dengan tangannya yang gemetar, jari-jari tersangkut pada simpul-simpul kecil. Dan meskipun tidak bermaksud demikian, aku tetap memperhatikannya. Memperhatikan semuanya.
Mulutku yang serong ke samping. Hidung panjang dan sedikit bengkok. Tahi lalat itu berada di bawah mata kiri mencium tulang pipi. Mata cokelat dan rambut hitam yang melengkung keriting di ujungnya. Ciri-ciri yang kuketahui dengan sangat baik. Ciri-ciri yang telah kulihat berkali-kali sebelumnya, bukan pada diriku sendiri, melainkan pada orang lain. Ciri-ciri ibuku.
Aku tampak seperti dia. Setiap bagian terakhir dari diriku. Setiap bagian terakhir tang dibencinya.
Itu salahnya.
Mencengkeram wastafel dengan satu tangan dan tangan lain mencari-cari lemari obat, aku mengeluarkan sebotol pil, menenangkan napas yang gemuruh saat membaca labelnya. Fuloxentine.
Aku ragu-ragu, pikiranku masih tertuju pada kata itu dan memikirkan kapsul kecil berwarna hijau dan kuning itu. Aku takut. Dokter memastikan pil-pil itu akan memperbaiki keadaan. Menjadi lebih mudah. Namun malah ternyata semakin mempersulit situasiku.
Aku tak bisa tidur. Tak bisa fokus. Dan meskipun tidak sakit, tapi pikiranku tetap merasakannya. Dan itu lebih menyakitkan daripada hidup tanpa resep.
Itu adalah penjara.
Terjebak dalam kepalaku sendiri, pikiranku sendiri, tanpa ada cara untuk bebas.