Berakhirlah kematian sungai, ketika seorang anak kencing di debu yang seharusnya menjadi tanah subur selimut bunga liar yang berserakan dan ditinggalkan untuk nelangsa layu. Cinta berakhir di trotoar kotor, hening bergeming. Tak ada ilalang jalang yang terlihat dirudapaksa burung untuk infrastruktur sarang. Kita mabuk sangat mabuk nyaris tak mampu mencapai rantai saklar lampu. Â Maka bersenandunglah: Jika musim berganti meniup angin sedingin kulit ari dan langit sesuram wajah gadis sibiran tulang patah hati, akulah cahaya yang takut menyentuh sehelai rambut di tubuhmu ... terkutuklah keberuntungan yang pahit, minyak untuk mengurap, sementara menyusuri jalan-jalan imajiner lahan tempat 'mu' mencampakkan 'ku' seperti anak kucing kurus yang menggigil mandi di kayu. Lihatlah, aku mengeong, kegelapan mengguyurku seperti susu basi membara, menjilatku dengan lidahnya yang kesat kaku.
Cikarang, 12 April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H