Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mukadimah Guru Pujangga

8 April 2024   18:19 Diperbarui: 8 April 2024   18:53 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Gadis-gadis itu menyerbu ke dalam pelukan satu per satu. Mencari perlindungan dari teror kehidupan nyata, sampai mereka menyadari betapa gotiknya arsitektur interior yang mengerikan ini. rerata memangsa waktu hampir dua setengah hari sekali.

Jalan pintas pemintas dipotong. Gadis-gadis terbang lewat seperti alang-alang liar berciuman di lereng bukit yang kusalah mengira matahari. Kehilangan yang tragis, sebuah misteri yang tidak pecah. Kuluangkan waktu untuk bercinta meskipun komitmen ketat mengharuskan kecanduan kerja.

Cinta sejatiku, maukah kamu menemuiku di dasar kawah gunung berapi, di palung lautan asam sulfat? Menempel di bibir koral terjal, memegang bungkusan bubuk mesiu petir. Apakah kamu mendengar omong kosong basa basi yang kutiupkan ke permukaan? Gelembung-gelembung terurai menjadi buih soda yang tidak ada apa-apanya? Mungkinkah kamu, putri duyung yang melompat ke dalam lengkungan bertitik api untuk menelusuri topi telinga Miki Tikus sebesar kelapa?

Tidak. Kamu yang tersipu malu. Aku sampai lupa bersandar di rak buku lapuk. Kamu adalah mulas dalam perutku yang terkoyak, menyiratkan aku seorang suami sultan yang kaya luar biasa. Kamu adalah tangan manis yang salah kukira sebagai padang rumput, kencangkan pinggulku yang tajam dan memutar linggaku ke soket lampu di punggung.

Kamu menemukan namaku di panggilan cepat, sedang lelap layu. Aku melihatmu di kafe, menyamar sebagai roti sumbu. Aku menanam aksaramu di langit. Aku melukis jejak langkah masa kecil dengan foto-foto merah cokelat sepia.

Cikarang, 8 April 2024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun