Denting kecapi menyublim dari filsafat menjadi cermin, candu yang menyerang neuron. Kamu ingat tujuh belas burung garuda yang terbang dari lubang suara, keluar dan menyulam pohon kiara dengan bom tawa mereka? Aku melihat sekilas tabel periodik dan tak terkejut melihat diriku sendiri di kolom taksa. Menggantungkan pipi di dinding, menanam ilalang dengan benih yang dicuri dari mimpi. Terkadang di bawah sepasang tanduk kambing gunung yang mengerang panjang. Tidak salah jika kita menjahit diri kita seperti benang perak hangus menghitam dan menjadi gombal pembersih dosa. Di dalam melintang. Di luar mendatar. Pasukan berkerudung yang compang-camping tak mampu menyingkap cahaya bulan dalam pendakian mereka yang melelahkan. Putih transparan. Kaki kaku tak bergerak angkat bangkit berdiri. Lupa bila rahang menganga.
Di mana letak etalase pajang misil berlapis krom kata-kata penyair? Mawar hutan untuk melindungiku, membuatku berdarah tertusuk duri. Menikahlah denganku malam ini. Di pagi hari aku mati.
Denting kecapi larutkan cermin ke dalam mangkuk piala filsafat.
Cikarang, 7 April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H