Waktu dan abai merusak makam. Pusara hancur, prasasti memudar dari permukaan, tertutup lumut dan kerak yang selama ribuan tahun akan mengubahnya menjadi tanah tempat mereka berdiri sekarang.
Kelopak bunga membusuk, berguguran dari batangnya seperti daun-daun jatuh di tengah musim kemarau, warnanya memudar, berubah menjadi coklat layu. Terbalik tertiup angin, seolah-olah didorong oleh jari yang tak terlihat, kaca dan porselen pecah di dasar batu nisan yang keras atau tergeletak putus di kaki mereka.
Sobekan-sobekan kertas berkibar tertiup angin, bertinta dengan kata-kata yang menyatu karena hujan, ditempel di batu atau dilipat di bawah jambangan, namun beberapa terbang bebas, lolos dan berjatuhan di tanah karena kemurahan hati angin yang bertiup.
Tempat-tempat seperti ini mudah sekali dilupakan. Selain rumah ibadah yang sudah lama ditinggalkan jemaahnya, dan bahkan masjid, katedral, gereja, kuil, kelenteng jumlahnya sudah berkurang hingga tidak ada lagi yang tersisa. Di lereng bukit, disertai dengan kayu-kayu lapuk dari lumbung-lumbung yang roboh, dan rumah-rumah yang jika tidak berhantu, hanya dihuni oleh orang-orang yang sangat tua atau sangat miskin yang menolak untuk pergi atau tidak mampu mendapatkan yang lebih baik.
Mereka bersembunyi di hutan, dinaungi tudung pohon-pohon raksasa, hanya diterangi oleh sinar matahari yang menembus kanopi lebat di atas. Tempat-tempat inilah yang menyimpan rahasia terbesar.
Cinta yang telah lama hilang, ibu dan ayah, suami dan istri yang berbakti dibaringkan berdampingan, anak-anak diambil terlalu cepat dikubur di tanah yang dingin dalam pelukan penuh kasih seorang ibu yang enggan melepaskan mereka.
Semuanya terkubur. Ada yang ditangisi oleh orang-orang terkasih, ada pula yang ikut ke dalam kubur, sangat berduka atas orang-orang yang mereka tinggalkan.
Di tempat seperti inilah kenangan mati. Pernyataan cinta yang dibisikkan dilupakan. Wajah-wajah yang dulu begitu diingat dengan baik menghilang ke dalam bayang-bayang. Suara-suara yang dikenal menghilang hingga hanya berupa bisikan, dan kemudian tidak ada sama sekali.
Kuburan baru ditumbuhi rerumputan dan ilalang liar, bebatuan menjadi bungkuk, hancur tak berbekas. Nama-nama yang terukir di permukaan perlahan-lahan memudar dan kemudian lenyap seolah terhapus oleh ujung jari waktu.
Kuburan terlupakan, mungkin tidak akan pernah diingat lagi, kecuali jika secara kebetulan seseorang, orang asing, menemukan sebuah nisan.