Aku menemukannya di belakang microwave, di antara tumpukan amplop yang menguning. Benda itu menempel di dasar tumpukan dan aku akan melewatkannya ketika aku memungutnya seandainya benda itu tidak melompat bebas pada detik terakhir, berputar dengan liar hingga mendarat di kakiku yang berkasut. Kertas persegi panjang kecil berwarna kuning pupus, dikerutkan di kedua arah di tengahnya seolah-olah kertas itu pernah dipotong menjadi empat bagian dan dimasukkan ke dalam saku.
Aku tidak yakin berapa lama aku berdiri di dapur sambil memegangnya. Yang terdengar hanyalah gemerisik suara tirai yang bergerak di jendela dan suaraku yang basah dan gemetar sebelum Bibi Jannah menemukanku dan mengarahkanku ke sofa.
Saat itu bulan April.
Ayah meninggal pada bulan Januari.
Sebenarnya, aku belum merasakannya--tidak meraskan apapun---sepanjang musim hujan itu. Tidak sampai saat itu. Saat pertama kali aku menerima telepon dari Ibu, aku ingat kata-katanya terkesan banal dan jauh. Seolah-olah aku membacanya lagi, kalimat abu-abu di kertas koran.
Lima puluh sembilan. Pria. Mati. Serangan jantung di rumahnya. Sendiri.
"Maaf," kataku ketika Ibu selesai berbicara.
"Saya minta maaf." Aku mengatakannya lagi di pemakaman. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
Aku tidak mengenal ayahku.
Ketika dia meninggal, aku tidak bertemu dengannya selama lima belas tahun, dan tidak berbicara dengannya selama tujuh tahun.