Dia bilang dia bisa melihat kilauan muncul dari dalam diriku: menyala, bersinar menerangi segala sesuatu di sekitar. Tidak ada orang lain yang bisa melihatnya. Sepertinya aku adalah cahayanya dan dia adalah saklarnya. Cinta pertama: kami saling klik. Kami memicu. Kami meledak dengan cemerlang.
Terangku akan membawa kami melewati segala jenis kegelapan. Pada malam musim dingin yang tidak jelas saat kembali dari warung, aku akan menjaga kami dari bahaya. Dalam kekacauan emosional, pancaran sinar dariku akan menyelesaikan masalah kami.
Apakah hanya aku, atau dia iri dengan pancaran cahaya itu? Aku bersinar begitu terang sehingga laki-laki lain mau tidak mau memperhatikan sinarku, tidak bisa menahan keinginan mereka untuk mencuri secercah cinta. Tidak bisakah dia melihat aku bersinar hanya untuknya?
Dia mematikanku. Begitu sajaitu. Saat arus surut, cahayaku meredup. Bayanganku menghilang ke dalam kegelapan. Listrik padam.
Aku lupa tentang kekuatanku sendiri. Aku lupa bahwa aku punya saklar sendiri.
Dia menjaga nyalaku, tentunya. Dia menikmatinya, tapi bukan dia yang menyalakannya. Dia tidak punya hak untuk mematikannya. Maka aku memutuskan untuk menghubungkannya dengan arus pendek, dan menghidupkannya kembali.
Aku rasa aku akan menjadi lampu hemat energi kali ini. Aku tidak akan menghabiskan seluruh energiku pada satu pria. Aku tidak akan bersinar terang di hadapan siapa pun sehingga aku tidak berdaya untuk melakukan hal lain.
Dia akan dibiarkan dengan saklar mati dan kepuasan hampa, secara membabi buta membolak-balik bayangan.
Cikarang, 17 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H