Dari tumpukan lumpur aku melihat tupai berlari. Saat itu senja, banjir terparah akhirnya surut berlalu, dan tupai itu berlari melintasi jalan setapak yang mulus dan rata, berwarna cokelat kehitaman---lalu dia melesat ke kali kecil yang berarus deras. Dia tidak ragu-ragu. Dia tidak takut.
Dari kejauhan, aku membenamkan hidungku ke dalam syal yang agak berjamur. Baunya seperti laci lemari tempat menyimpan kaos kaki. Bagian terdalam dari lemari. Sungguh terburu-buru untuk berdiri di sini dan menyaksikan tupai melompati cabang-cabang kayu yang hanyut, tidak menyadari risiko atau tidak takut, mengejar harapan akan makanan lebih baik, lebih sedikit pemangsa, dan sarang yang lebih hangat.
Bulir girimis berkilauan di bawah cahaya lampu. Tupai itu hampir sampai ke pinggir kali. Aku menjadi mendukungnya. Aku ingin dia berhasil.
Dan dia berhasil. Hanya itu yang kupikirkan sejak saat itu, bagaimana cabang kayu tidak patah karena lapuk, bagaimana tupai berlari ke tepian seberang. Bulu abu-abunya menghilang di atas bukit kecil.
Kini aku berjalan ke kali setiap hari, mencarinya. Menjelajahi sisi kali untuk mencari jejaknya.
Aku berdiri di tepian kali yang berlumpur dan menunggu, sangat ingin menyaksikan pertunjukan berlari yang menakjubkan.
Aku ingin mempunyai keberanian seperti itu.
Cikarang, 17 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H