Meskipun berangkat lebih awal, kami mendaki jalan setapak sendirian selama berjam-jam. "Bagaimana perasaanmu, Ghea?" aku bertanya.
"Haus."
Kami tiba di sebuah kuil kuno dengan seekor patung kuda kecil dari batu.
Aku membelai lekuk likunya yang lapuk dan berbisik, "Kami membutuhkan air, Wilutama!"
Aku membayangkannya berdiri di bawah bintang-bintang yang dingin, sunyi, rindu untuk menjadi hidup dan bernapas.
"Mahiwaltikta!" Seorang pria botak berjubah putih muncul menunggang kuda abu-abu yang megah. "Kamu ingin makan dan minum?"
"Ya, tolonglah!"
Kantong pelananya berisi air mineral kemasan, nasi panas, dan ayam panggang. Kami makan dengan lahap.
Pria botak berjubah putih tersenyum dan pergi. Melihat kembali ke kuil, aku tersentak. Patung kuda batu itu telah menghilang.
Cikarang, 1 Januari 2024