Karena kelelahan, kita berpelukan erat dan gerakan kita melambat, lalu berhenti. Aku menatap matamu dan bilang aku mencintaimu.
Kamu tersenyum, lalu membimbing jalan, terhuyung-huyung menyusuri selasar. Berbaring di tempat tidur dan berbicara. Kamu tertawa mendengar leluconku, berbisik di telingaku, dan sambil bercanda menggigit cupingnya.
Aku memelukmu dan kita saling menempel. Aku merasakan momen itu berlalu begitu saja dan aku mencoba mempertahankannya dengan putus asa yang bukan bagian dari momen aslinya. Usahaku sia-sia. Mimpi itu terfragmentasi, menjadi tumpukan kenangan yang dipadatkan dan disaring.
Kita duduk di lumpur di konser luar ruangan menunggu band yang tidak pernah keluar karena petir. Kita mengarungi aliran sungai sedingin es yang mengalir di atas bebatuan, liburan yang kita pilih ketika aku ingin ke pantai tetapi kamu bersikeras ke gunung. Kita bertengkar karena ribuan hal yang tidak berarti dan aku memelukmu saat kamu menangis di ruang tunggu setelah dokter memberi tahu bahwa kamu tidak dapat memiliki anak. Aku ingin menyimpan kenangan ini, yang terburuk maupun yang terbaik.
***
Dalam mimpi terakhir, kita lebih tua. Aku sudah bisa melihat tanda-tanda pertama uban di rambutmu, meski bagiku itu tetap indah. Kamu akan selalu cantik, istriku. Kita dalam perjalanan pulang dari akhir pekan bersama orang tuamu. Kita hampir sampai. Kita berbicara tentang minum teh Earl Grey untukku dan chamomile untukmu, duduk sambil menonton televisi. Akhir pekan yang panjang dan yang kita inginkan hanyalah masuk ke rumah yang hangat dan nyaman, duduk bersebelahan, dan bersantai.
Hujan mengubah tanah gembur menjadi lumpur. Penyiar radio mengatakan bqadai akan datang di pagi hari. Kamu tiba-tiba tertawa dan bertanya apakah kita sebaiknya tinggal di rumah dan tidak bekerja. Coba pikir, katamu, sehari di tempat tidur, tidak ada gangguan.
Aku tersenyum dan mengatakan kepadamu bahwa itu akan menyenangkan, meskipun ada pertemuan penting di pagi hari. Aku memutuskan kita akan pulang lebih awal setelahnya.
Aku tak melihatnya. Mungkin genangan air yang terletak jauh di dalam lubang, atau sepetak lumpur hitam. Aku tak pernah tahu. Aku merasakan roda kehilangan cengkeramannya di jalan. Tanganku mengepal kemudi. Tidak ada yang dapat kulakukan, dan ketika kita menuju ke tikungan, mobil mulai berputar. Awalnya lambat, putarannya bertahap, lembut dan halus. Kamu menatapku dengan tanda kekhawatiran pertama di matamu.
Putarannya bertambah cepat saat kita meninggalkan jalan. Tanah berlumpur lepas dari bahu kita, seolah-olah terjatuh di bawah kita saat mobil melayang ke udara. Pepohonan melintas di bawah lampu depan, dan pasrah tiba-tiba menyelimutiku. Aku melonggarkan cengkeraman pada kemudi, dan mengalihkan pandanganku dari panorama memusingkan di depan untuk melihatmu. Kamu menoleh ke belakang dan aku mencintaimu, setiap bagian dari dirimu, dan pandanganku dipenuhi air mata.
Kamu tersenyum, Â aku tahu kamu mencintaiku.