Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
Cut Rani tersayang,
Aku tahu aku sudah lama tidak menulis, tetapi sulit di sini, di 'medan perang'. Mereka tidak bertarung secara adil. Mereka menunggu di semak-semak seperti singa yang bersemangat dan siap menerkam. Mereka tidak peduli dengan hidupku dn aku juga tidak peduli dengan hidup mereka. Aku melihat ke dalam diriku sendiri dan bertanya-tanya bagaimana jadinya aku ketika pulang padamu.
Hari ini, aku mendengar sesuatu di semak-semak dan aku meraih pistol rakitan dan rencongku secara otomatis tanpa berpikir. Tanpa berpikir!
Ingat kawan yang pernah kuceritakan padamu, si Adun? Yah, dia sudah meninggal. Adun kena tembak di perut. Kami melakukan salat jenazah di depan kuburannya, d bawah pohon pinang hutan. Kami selalu berdoa untuk mereka yang sudah pergi dan berdoa jangan ada korban lagi, namun kami tahu kami tidak bisa.
Aku berharap kita bisa bertemu lagi. Aku berharap kita bisa bertemu ketika aku masihlah aku, bukan laki-laki yang berubah karena perang dan pengkhianatan.
Aku sudah melihat dan melakukan terlalu banyak untuk kembali diriku lagi. Yang terpenting, aku bertanya-tanya apakah kamu masih memakai peniti pinto Aceh pemberianku yang kuberikan padamu sebelum aku pergi.
Aku mengingat ini karena panas dari gelang akar bahar yang kamu berikan padaku di pergelangan tanganku.
Aku ingin tahu apakah kamu sudah menemukan seseorang bernama Syaiful atau Syauki yang akan membuat kamu lupa padaku.
Ingat waktu kita berjalan di bawah bintang-bintang setelah menyelinap dari kawan-kawan saat pulang taraweh Ramadan terkahir sebelum kampung kita dibakar brimob? Itulah yang kubawa dalam mimpi. Ketika jari-jari kita saling bertautan dan binar mata biru keturunan Portugis-mu. Aku sering memikirkanmu dan kuharap kamu memikirkanku. Aku menulis surat ini dari tempat tidur rumah sakit.