Apartemen tanteku bagaikan bagian dalam sebuah jam: kecil, berkilau, tepat. Tempat segala sesuatunya tertata dengan sempurna. Sendok teh perak dengan gagang ukir kerawang, bantalan peniti dengan seratus jarum berkepala mutiara, cangkir porselen berbingkai emas.
Tanteku menelusuri memar di pelipisku, tapi dia tidak bertanya, belum. Interogasi akan datang kemudian. "Aku seharusnya menjemputmu di stasiun," katanya sambil mengambil koperku, "Aku bisa menolong."
Aku duduk di sofanya dengan deretan bantal beludru merah. Sepertinya aku mendengar suara desiran pelan, seperti roda gigi yang bergerak. Aku mendengarkan bunyi tik, tok, tapi itu adalah tanteku yang sedang merebus air di ketel untuk membuat teh.
Saat dia membuka lemari es, aku melihat sekilas sepiring daging mentah: lidah sapi bengkak berwarna ungu yang dibeli dari pasar, hati domba dengan lapisan lemaknya.
Di sini, di apartemen ini, tanteku selalu punya waktu untukku. Kami bernegosiasi satu sama lain dalam batas aman tembok apartemennya: aku, melangkah dan menggelegar, dia, teliti dan tepat. Jarum jam panjang, jarum jam pendek.
Aku bagai burung yang terluka, sayap patah, semangat musnah. Di masa yang akan datang, tanteku akan memberiku makan sepotong hati dan lidah. Dia akan memutar pegasku sampai aku siap lagi untuk terbang. Dan pada saat yang telah ditentukan dia akan melihatku melaju, terbang menembus tembok, siap untuk bernyanyi lagi.
Cikarang, 22 November 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI