Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bukit Hijau Kota Megapolitan

15 November 2023   18:05 Diperbarui: 15 November 2023   18:07 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah langit yang meninggalkan kita. Inilah puisi yang tertinggal di ujung lidahmu, setetes racun hasil sulingan pilihan menunggu untuk ditimbun dalam bait yang tepat. Ini adalah puisi yang tidak bisa ditulis karena ia menulis dirinya sendiri. Tulisan inilah yang menjadi jam yang jarumnya memutar puisi.

Aku ke gerai barang antik untuk mengambil foto dengan mesin waktu yang sudah tak ada kini. Sebuah suara memintaku untuk menghadap ke cermin, agar kudapat melihat bahwa rupa wajahku membutuhkan reparasi. Seorang penambang perahu menjulurkan kepalanya melalui tirai tebal dan kotor, bertanya-tanya apakah aku akan berada di sini lebih lama lagi, karena dia terburu-buru memasuki ruangan yang cahayanya berasal dari lampu yang dipasang di dahinya. Ada sesuatu yang bisa kukatakan tentang menunggu lama, kataku padanya, tapi aku tidak akan mengatakannya padamu. Dia tersenyum. Giginya mengingatkanku pada hewan pengerat keju. Haruskah aku mengendus ketiakku atau ketiaknya untuk mencari petunjuk?

Gerai barang antik adalah puisi yang dikunjungi banyak khalayak, terutama ketika tidak ada kegiatan lain yang lebih baik. Aku mempunyai seorang bibi yang suka duduk di sana saat hujan maju mundur, di dekat jendela sambil memandangi bunga bakung yang murung, berpura-pura bahwa teman masa kecilnya, Yono, pada akhirnya akan meninggalkan masa kanak-kanaknya.

Dalam puisi liris yang dibacakan kemarin, seorang martir mengikat dirinya ke pohon jakaranda sesaat sebelum para penumpang tiba di halte busway terdekat. Seorang wanita muda berdiri tanpa topi membawa tamborin. Seorang pria menggaruk sisa otak dari kepalanya. Terdengar tangisan meratap pilu. Bukanlah sang martir yang tak seorang pun ingat pernah melihatnya.

Ini tidak lebih dari bunga tempuyung pengalih perhatian. Dengar, para samurai, adakah yang ingat mengapa martir menjadi landasan konsepsi kesedihan penyair? Ingat, Iteung Kabayan bekerja di kedai kopi yang trendi, tetapi hal itu tidak membantunya menjadi percaya pada keandalan mobil listrik yang mahal bersubsidi. Ayo, tempelkan dayungmu di kerak lumpur kebohongan dan bencana masa kini lalu jelaskan apa siapa dirimu, mulai sejak janin.

Cikarang, 15 November 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun