Milla duduk di seberang ruangan dariku, menyeruput segelas minuman berwarna bening. Aku memperhatikannya, menyaksikan sinar hangat muncul di pipinya, sangat mirip dengan rona merah senja.
Milla menghela napas puas dan membuka mata. Dia melihat gelas berisi cairan beningku dan mengerutkan kening.
"Kau yakin tak mau nyoba?" dia bertanya. "Sungguh menakjubkan."
Aku tidak butuh dia mengatakan hal itu padaku, karena sudah tergambar jelas di wajahnya. Aku meneguk air mineralku dan tersenyum kembali.
"Cap tikus?" aku bertanya mengulur waktu. "Seperti yang dilakukan preman kampung?"
Dia tertawa kecil. "Bukan, ini Moonshine, resep keluarga. Wiski yang sangat spesial dari tempat penyulingan di kampung halamanku. Aku menyimpan botol ini Natal tahun lalu. Ini, minumlah. Kau pasati belum pernah merasakan yang seperti ini."
Itu adalah percakapan yang aku hindari karena akan mengakhiri persahabatan antara pria dan wanita. Tapi memang sih, aku curiga mungkin akan berakhir berbeda. Aku cukup mengenalnya dan tidak berani berharap hal itu terjadi.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi cukup menyenangkan melihatmu saja."
"Tapi ini enak banget!"
Ini dia, pikirku. Tidak bisa menghindarinya sekarang.