Suhu meningkat. Rumput mengering, daun-daun berguguran dari pohon-pohon. Air dijatah dan tanaman dalam pot layu.
Matahari bersinar sepanjang waktu. Di kota, jalanan seperti tungku. Tidak ada tempat berteduh, tidak ada perlindungan dari terik, membuat kepala Maharani sakit.
Dia mandi keringat. Hapsoro mandi keringat. Malam hari, udara terlalu panas di kamar untuk tidur. Dia menjadi marah.
"Aku berharap akan turun hujan!" seru Maharani.
"Berhati-hatilah dengan keinginanmu," kata Hapsoro. "Kamu mulai membuatku takut."
Keesokan paginya langit gelap, seolah-olah ada yang lupa menyalakan lampu. Awan hitam tebal bergulung dalam semalam.
"Oh, bagus!" Maharani berlari keluar seperti anak kecil yang bersemangat ketika air hujan pertama turun.
Hujan jatuh lebih cepat, berubah menjadi arus deras. Sungai-sungai terisi dan meluap, tanah kering menjadi bubur lumpur. Waduk penuh membuat pemerintah khawatir bendungan akan jebol.
"Aku berharap..."
"Jangan!" Hapsoro berteriak.
Namun Maharani tidak dapat mendengarnya, karena sesuatu menabrak dinding rumah dengan suara gemuruh yang menakutkan. Air berlumpur menerobos dinding dan menghempaskan mereka ke jalan setapak, ke seberang jalan, membenturkan mereka ke deretan pohon yang entah bagaimana tetap bertahan tegak.