Malam itu malam yang akan selalu kukenang, pada bulan Desember 1987.
Aku dan Sisyl di sebuah bar jauh dari kampus di pinggiran Bantul. Gerimis di luar. Take My Breath Away dari Berlin mendayu-dayu melalui pengeras suara, dan kami mengenakan pakaian yang membutuhkan pengalih perhatian dari sakit yang di derita Beben, dari kesadaran bahwa segalanya bisa berakhir kapan pun.
Kami berdansa begitu dekat, bahu kami nyaris melekat, pinggul kami tinggal sejengkal untuk saling tabrak, dan kami tidak saling memandang seperti biasanya saat berdansa di diskotik seperti ini, untuk lagu seperti ini, ketika biasanya kami saling bertatapan mengunci mata dan memalsukan gerak bibir. Sisyl akan memutar lengannya seakan memutar laso khayalan, lalu melepaskannya ke arahku dan aku akan bergoyang kembali padanya di lantai dansa.
Aku tidak akan melakukan kontak, dan itu hanya akan menjadi pesta dua sahabat biasa jika Beben bergabung dan mengacaukan koreografi kami setelah dia cukup mabuk, yang akan membuat Sisyl dan aku menjauh.
Tetapi pada malam itu, hanya kami berdua di pinggiran Kota Yogya yang panas, dan pandangan kami tertuju ke lantai yang licin. Punggung kami bersentuhan dan kami mengangkat tangan, saling mengunci bersama, dan pacarku Tikka mengawasi dari seberang ruangan. Dia mengedipkan mata kepadaku seolah aku berdansa untuknya.
Aku berbalik di belakang Sisyl dan lengan kami terangkat serempak, telapak tanganku memeluk bagian depan tangannya....
Dan bertahun-tahun kemudian ketika aku menjauh dari cuaca panas dataran rendah ke udara sejuk Parahyangan. Punya anak, dan setiap pagi hari kerja bekerja sebagai karyawan sambil memegang gagang cangkir kopi panas....
Dan Sisyl menghilang ke pegunungan di utara Benua Amerika untuk meratapi kehilangan Beben....
Aku masih merasakan keempat tangan kami saling jerat, bersinar dengan latar belakang cahaya putih lampu bar.
Tangsel, 6 Agustus 2023