Di latar belakang ada beberapa remaja yang melambai tangan dan melompat mengikuti irama. Mereka menyanyikan lagu yang tak bermakna, kecuali untuk remaja berpakaian serba hitam dengan tindik di telinga, hidung dan pusar dan kemarahan di wajah mereka.
Tapi kerumunan itu mengabaikan ritme yang melompat-lompat dan berdiri di sekitar seorang pemuda yang duduk di bangku sambil menyanyikan balada sementara air mata mengalir di pipinya.
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Dia berpakaian gaya 60-an dengan sepatu yang ujungnya mencuat ke atas dan berwarna merah seperti udang rebus.
Dia menyelesaikan baladanya, lalu menyeka mata dan pipinya. Semua pendengar bertepuk tangan. Mereka melemparkan uang ke dalam kotak gitar di depannya. Aku memasukkan selembar dua ribu, lalu menambahkan sepuluh ribu. Itu menarik perhatiannya, dan dia berkata, "Yang ini untuk Anda, nona."
Dia bernyanyi  memindahkanku ke lain ruang dan waktu. Aku melihat pedesaan dan jalan berdebu, perempuan cantik. Aku melihatnya bangga, menggandeng pria yang mengangkut keranjang anyaman berisi hasil bumi. Aku mencium bau rumput liar dan tuak dari dengus napas seorang pemabuk. Tapi pemabuk itu adalah seorang bangsawan dan bersenjatakan keris berliuk. Dia membunuh petani itu, dan dia mengambil perempuan muda yang cantik itu.
Dan ketika lagu itu berakhir, air mataku jatuh ke tanah. Semua orang bertepuk tangan, kecuali si penyanyi dan aku. Kami menatap mata satu sama lain, mengingat adegan itu. Karena kami berdua sangat terluka. Pecinta itu adalah kami.
Aku kehilangan hatiku hari itu. Seorang pengamen yang tampan mengambil dan memakainya. Dan sekarang kamu akan menemukan kami berdua di sudut trotoar yang berdebu, menyanyikan masa lalu dan cinta yang akan selalu kami miliki.
Bandung, 18 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H