Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengamen

18 Juni 2023   23:10 Diperbarui: 18 Juni 2023   23:17 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim 

Di latar belakang ada beberapa remaja yang melambai tangan dan melompat mengikuti irama. Mereka menyanyikan lagu yang tak bermakna, kecuali untuk remaja berpakaian serba hitam dengan tindik di telinga, hidung dan pusar dan kemarahan di wajah mereka.

Tapi kerumunan itu mengabaikan ritme yang melompat-lompat dan berdiri di sekitar seorang pemuda yang duduk di bangku sambil menyanyikan balada sementara air mata mengalir di pipinya.

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Dia berpakaian gaya 60-an dengan sepatu yang ujungnya mencuat ke atas dan berwarna merah seperti udang rebus.

Dia menyelesaikan baladanya, lalu menyeka mata dan pipinya. Semua pendengar bertepuk tangan. Mereka melemparkan uang ke dalam kotak gitar di depannya. Aku memasukkan selembar dua ribu, lalu menambahkan sepuluh ribu. Itu menarik perhatiannya, dan dia berkata, "Yang ini untuk Anda, nona."

Dia bernyanyi  memindahkanku ke lain ruang dan waktu. Aku melihat pedesaan dan jalan berdebu, perempuan cantik. Aku melihatnya bangga, menggandeng pria yang mengangkut keranjang anyaman berisi hasil bumi. Aku mencium bau rumput liar dan tuak dari dengus napas seorang pemabuk. Tapi pemabuk itu adalah seorang bangsawan dan bersenjatakan keris berliuk. Dia membunuh petani itu, dan dia mengambil perempuan muda yang cantik itu.

Dan ketika lagu itu berakhir, air mataku jatuh ke tanah. Semua orang bertepuk tangan, kecuali si penyanyi dan aku. Kami menatap mata satu sama lain, mengingat adegan itu. Karena kami berdua sangat terluka. Pecinta itu adalah kami.

Aku kehilangan hatiku hari itu. Seorang pengamen yang tampan mengambil dan memakainya. Dan sekarang kamu akan menemukan kami berdua di sudut trotoar yang berdebu, menyanyikan masa lalu dan cinta yang akan selalu kami miliki.

Bandung, 18 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun