Dia menatap permukaan perigi air mata dengan warna yang berbeda. Kaleidoskop emosi kehidupan: perpisahan yang menyedihkan, tangisan samar bayi yang baru lahir, abu berhamburan terbawa angin.
Kenangan pahit, terlalu pedih untuk dibagikan.
Mencoba menghapusnya, dia menangis untuk tokoh yang ada dalam kepalanya: untuk ksatria yang kalah dan pengantin yang menjanda sebelum malam pertama. Dia menangisi leluhur yang terbaring di ruang bawah tanah yang runtuh dan berusaha membangkitkan mereka dengan penanya.
Namun ketika dia tergerak oleh kata-kata penyair yang sudah lama tiada atau gemetar karena vibrasi nada yang menghantuinya, dia kembali ke perigi air mata dan keajaiban rahasia.
Beranikah dia membiarkan perasaan yang sebenarnya mengalir melalui kata-kata?
Bandung, 18 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H