Di bangku di sampingnya, koper merah tua dan di sebelahnya sepasang sepatu kets putih.
Dia menatap pantai, tidak mempedulikan orang-orang yang lewat. Aku berdiri di satu sisi memandangnya, dan dari cara dia berdiri, ekspresi wajahnya, bahwa dia menikmati saat-saat ini. Bergeser ke kursi di sampingnya tetap saja aku tak menembus kesendiriannya.
"Ayam tetangga pagi bengong sore mati."
"Oh, apa? Maaf."
"Semua baik-baik aja?"
"Cuma nonton ombak, itu aja."
"Kamu udah mikirin kata-kataku?"
"Ada, sih. Tapi kamu tahu-"
"Kamu akan bilang kapan kamu siap?"
"Ya, baik-"
"Kasih tahu aku, oke?"
Aku melirik koper merah di bangku, ke sepatu kets baru.
"Sepatu baru, ya?"
"Baru beli, bagus, kan? Rasanya cocok buat lari."
Dia menatapku, menatap wajahku dan belum juga duduk saat kami berbicara. Tersenyum, membungkuk, mencium pipiku. Aku berdiri dan berkata, "Jangan lupa hubungi aku, oke?"
Aku menatapnya, secercah senyum di wajahnya. Mengangkat bahu, dia bilang dia akan menghubungi dan pergi.
Merah putih, hari ini merah putih. Sepatu serba merah putih. Merah dan putih di bendera, dan kursi kanvas di geladak berkibar ditiup angin, di atas nama perahu yang disusun di atas sirap. Tulisan merah di atas dasar putih. Dengan syal merah yang dikenakannya melilit leher jenjang  di atas gaun putihnya, teman-temannya dalam warna abu-abu dan hitam. Merah dan putih bergema di kilau sampanye merah muda yang mereka minum, dalam botol bekas yang tergeletak di sirap.
***
Merah bergema dalam ingatanku dan mantelmu yang mewah, dikenakan sepanjang musim hujan dingin. Kadmium memerah dengan lapisan pucat yang berkilauan.
Dan matahari merah dingin meluncur jatuh ke laut kelabu.
Rest Area 72A Purbaleunyi, 11 Juni 2023Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI