Aku hendak mengambil jam di kamarku, menyipitkan mata ke permukaan jam yang bercahaya, jarumnya berubah warna-warni mengikuti kondisi ruang.
Namun berada sepuluh ribu kilometer jauhnya di malam zona waktu baru, itulah sebabnya mengapa ada telepon hotel di dekat wajahku. Aku mencari jam dan menit, menemukan tombol angka, tanda pagar, tanda bintang.
Jam biologisku mati. Bahkan perutku keroncongan. Entah bagaimana tiga hidangan tadi malam setelah dicerna oleh tubuh zona waktu lamaku meninggalkan usus perut, indra perasa, otakku. Semua menjerit kelaparan.
Tidak ada yang bisa dimakan di ruangan ini. Tidak ada ketel, kopi atau teh. Tidak ada kantong gula untuk dibuka dan tuangkan ke lidahku yang menunggu. Hanya pakaian di dalam koper, dokumen di tas jinjing, bahkan permen karet pun tidak ada. Maka aku duduk dalam kegelapan, memegang ponsel. Benda itu membuat jari-jariku sibuk.
Aku bohong. Tidak sepenuhnya gelap. Aku bisa melihat bentuk-bentuk. Kursi dengan baju kemarin yang bernoda lumpur. Di sampingnya anjing sedang berjongkok, meskipun aku tahu itu tas jinjingku, setengah bagian atas terbuka. Dan di sini, di tanganku, melengkung seperti sepotong kayu lapis pipih, hangat seperti bahu orang asing di kereta, adalah ponsel. Benda itu merengek memintaku menghubungi nomor yang kukenal, jadi itu yang kulakukan. Aku memotong dengungan saluran langsung dengan ibu jari. Tombol-tombol berbunyi klik dalam keheningan. Tidak ada yang berdering.
***
Di dalam rumah, di zona waktunya, hari mulai gelap. Hari panas terlalu tinggi karena begitu matahari terbenam dia bilang dia mulai merasakan hawa dingin.
Kulkas diisi dengan susu. Terlalu banyak susu. Dia bilang dia lupa aku tidak ada di sana tapi kami berdua tahu dia benci untuk menghentikan rutinitasnya.
Dua karton dalam perjalanan pulang dari kantor, tidak pernah yang besar, katanya tidak akan segar.
Dia membuat cokelat panas yang harus dihabiskan. Dia memikirkannya sekarang, bagaimana rasanya.
Dia menuangkan susu tinggi-tinggi di atas wajan, melihatnya jatuh, sifon putih, melihatnya memercik, menumpahkan emulsi. Menontonnya menggelembung, menggelegak, panas.
Dia menyandarkan kepalanya ke pintu, bukan karena dia lelah, tapi untuk melihatnya menggelinding dan mendidih. Dia menaburkan bubuk hitam, membuat pulau-pulau, mengambil pengocok dan menyentuh angka delapan dengan sedikit putaran di ujungnya. Aku suka melihat pergelangan tangannya, seperti sedang menari.
Dia harus mematikan gas tetapi dia tidak melakukannya. Dia menjatuhkan pengocok ke sisi panci, menunggu. Semuanya berputar-putar. Segera akan berbuih dan berbusa.
Dia menggosok mata, menguap. Panas basah menyembur di atas kompornya yang bersih. Sepertinya dia lupa, tetapi ketika susu berhembus tinggi, dia mematikan kompor, menyentak pegangannya seperti bocah bandel, menuangkan sungai berbuih ke dalam cangkir putih dengan gambar perahu layar di sampingnya, dan membalik panci ke bak cuci.
Secangkir penuh uap manis dan aku tidak akan meminumnya.
Tangsel, 7 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H