Kami menyukai asam jawa. Sebuah kedai tidak jauh dari sekolah menjual permen asam jawa. Bersalut butiran gula dengan bubuk cabai. Manisnya memotong keasaman dan meninggalkan sedikit rasa bumbu di lidah. Gula dan cabai tidak akan memberikan rasa nikmat. Unsur ajaibnya adalah asam jawa.
Saat itu siang menjelang sore yang menyenangkan, dan kadang-kadang angin sejuk bertiup, membawa bau sisa hujan. Orang-orang tua telah tertidur. Udin menyelinap keluar dari rumahnya dan aku dari rumahku. Kami bermain kejar-kejaran dan berlari menyusuri pematang sawah. Langit berhiaskan awan putih dan beberapa awan kelabu. Gagak hitam terbang. Sapi-sapi berlindung di bawah teduhnya bayang-bayang pepohonan dan menatap kami, merasa terganggu. Bahkan anjing-anjing liar yang lapar, dengan kulit yang bergelombang di tulang rusuknya, tidak mau repot-repot mengikuti kami. Mereka menemukan tempat teduh untuk duduk dan menjulurkan lidah mengejek dunia.
Di ujung terjauh dari sawah, jalan tanah memudar dan rumpun bambu emas tumbuh tinggi, ada pohon asam jawa yang lebar dan rimbun. Kami berdiri di bawah pohon dan melihat buahnya yang matang di pucuk dahannya yang paling atas.
Kami mencoba memanjat pohon itu, tetapi batangnya tidak memiliki pijakan. Jari-jari kaki kami terus tergelincir dan kami meluncur ke tanah. Kami tertawa sambil membersihkan diri.
Udin memperhatikan bahwa setiap kali angin sepoi-sepoi bertiup, bambu di dekatnya melengkung ke arah pohon. Kami bisa memanjat bambu dan mencapai cabang atas pohon asam jawa.
Udin memanjat bambu dengan mudah. Telapak kakinya ditopang oleh ruas-ruas bambu, tonjolan-tonjolan putih yang tumbuh secara berkala. Berat badan Udin melengkungkan bambu lebih jauh membuatku khawatir batangnya akan patah. Namun bambu melengkung dengan anggun dan membawanya ke dahan atas pohon asam jawa yang sarat dengan buah-buahan.
"Naiklah!" seruUdin. "Kamu tunggu apa lagi?"
Aku ragu-ragu, tidak begitu yakin. Tapi kemudian aku melihat Udin memetik buah asam jawa dan membuka kulit cokelatnya. Dia menjilat isi di dalamnya dan mengecap bibirnya.
"Enak banget!" serunya.
Aku tidak menunggu lebih lama lagi, langsung  memanjat bambu secepat mungkin. Aku tidak ingin Udin mengambil semua asam jawa yang besar-besar.