Di gedung yang menjadi markas pusat departemen, pintu dibuka oleh Ifan, seorang pria bersuara lembut dengan jaket hitam dan celana panjang bergaris. "Pak Joko Seng," katanya kepadaku seolah-olah mengungkapkan rahasia negara, "sedang tidak ada."
Kesal karena frustrasi, aku bertanya apakah Prima Dasa ada. Aku menuju ke pintu di ujung koridor sementara Ifan berbisik ke telepon. Menutup gagang telepon secara perlahan, dia memberi tahu dengan nada pelan, bahwa Tuan Prima Dasa bersedia menemuiku.
Di perpustakaan, Prima tergeletak di kursi malas dengan gelas di tangannya.
"Joko dipanggil ke istana untuk menjawab pertanyaan anggota dewan yang...." Dia berhenti, menatapku tajam."Hei, kau seperti baru saja melihat hantu!"
"Bisa dibilang begitu," jawabku. "Archer, orang Amerika yang kami temui di Shanghai, mati. Dibunuh."
Aku bersiul kecil, membuka kursi malas yang terlipat.
"Yang kau butuhkan minuman." Dia menyeberang ke lemari minuman dan membukanya. "Brendi kurasa pas untuk situasi semacam ini."
Prima mengambil sebuah botol. "Ah, iya. Seorang kurir." Menuangkan ke dalam gelas kristal dengan nada percakapan yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa gugupku, "Persediaan minum Bos tak pernah habis. Kalau kau mau tahu selera kulinernya, sekali-kali ikut dia makan siang. Kujamin setelah itu kau bisa membunuh musuh negara sebanyak yang kau mau."
Aku sudah duduk di kursi malas di seberangnya ketika dia kembali dengan brendi. "Maaf merepotkan," kataku, mengambil gelas darinya. "Tapi aku tidak biasa melihat mayat."
"Nanti kau akan terbiasa, percayalah," katanya sambil duduk di kursinya. "Joko memberitahuku tentang orang Amerika ini. Kau Ingin bercerita, Han?'