Aku menyimpan botolku di belakang bangku taman. Tindakan bodoh, aku tahu, tapi daun telingaku membunuhku, dan aku tidak punya tempat lain untuk meletakkan anting-anting itu.
Aku tidak mengira akan ada orang yang melihat botol air yang hampir kosong tergeletak di antara rumput liar setinggi lutut, dan aku hanya berlari mengelilingi taman dua kali. Namun ketika aku kembali, botol itu sudah tidak ada.
Ada beberapa anak sedang bermain di ayunan dan bak pasir. Ibu mereka sedang membincangkan tentang melatih bagaimana agar anak berhenti ngompol.
Seorang gelandangan mengintip ke dalam tong sampah. Dia mengambil sisa roti , memasukkannya ke dalam ranselnya, dan menggali lebih dalam. Aku menyelinap lebih dekat. Dia sedang mencari jauh ke dalam tong yang meluap. Menemukan apel yang setengah utuh, menyekanya di celananya, lalu menggigitnya. Saat itu juga aku tahu bukan dia yang menemukan botol airku.
Seorang remaja menderu di atas skateboard. Telinga tertutup headphone. Aku melihatnya meluncur di trotoar.
Lalu mataku berputar 180 derajat.
Seorang bocah laki-laki sedang bermain pasir---di tangannya ada botol airku.
Aku berjongkok untuk mempelajari situasi. Anak lain mencoba menarik botol itu darinya, dan dia meraung marah. Ibunya berlari, menggendongnya, dan membuang botol kotor itu ke luar bak pasir. Lebih cepat dari seekor kucing yang menerkam tikus, aku m,menyambar botol itu dan berlari.
Lima ratus meter dari situ, aku membuka tutup botol, membuang pasirnya, dan menemukan apa yang kucari: anting-anting ibu.
Aku mendesah lega, menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan jantungku yang berdegup kencang.