Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari-hari Aku Berkeliling Dunia dan Ternyata Ada di Rumah

1 Maret 2023   18:37 Diperbarui: 1 Maret 2023   20:00 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari itu

Aku dan Rani tiba di Stockholm dengan penerbangan semalam. Malam itu kami menemukan jalan ke Kagges, sebuah restoran yang dia temukan di tripadvisor.

Di dalamnya ada tujuh meja, semuanya diisi dengan pelanggan, dan sebuah bar dengan delapan bangku di bagian belakang. Dua bangku berdiri kosong. Suaranya riuh tetapi tidak memekakkan telinga.

"Gantung mantel kalian," kata resepsionis. Aku melihat seorang wanita muda lain memberi isyarat kepada kami dari belakang bar, menunjuk ke dua bangku kosong. Aku melihat istriku apakah dia setuju duduk di situ. Dia mengangkat bahu.

"Aku ingin meja," kataku pada resepsionis. "Kami membuat reservasi ini enam minggu lalu." Dia membungkuk mendekat dan berbisik, "Hanya itu yang kami punya. Itu adalah tempat duduk terbaik."

Di belakang bar, seorang chef muda dan timnya sibuk menyiapkan piring-piring kecil, dan selama dua jam kami terpesona oleh ketrampilan mereka: mengiris, memotong, membakar, membumbui, dan membuat saus dengan bagai orkestra pilharmoni mempersembahkan karya klasik era barok, masing-masing menyajikan lukisan Jackson Pollock yang dicat dengan tetesan bearnaise dan demi-glaze. Kami belum memesan domba, tetapi setelah melihat persiapan halus sang maestro, apa lagi yang bisa kami lakukan?

"Seharusnya kita booking tempat di Frantzen, tiga Michelin Star," kata Rani sebelum kami pergi.

"Aku tahu," katanya. "Michelin baru di sini. Aku akan coba."

***

Hari sebelum hari itu

Aku menggulung pakaian dalamku yang kedua belas dan memadukannya dengan yang lain. Rani berdiri di dekat kopernya, berkacak pinggang, menungguku menjawab.

"Tentu saja aku sudah membaca rencana perjalanannya," kataku. "Kita akan pergi ke Skandinavia. Qatar Airways."

Aku menutup koperku dan menyeretnya dari tempat tidur, berharap itu adalah terakhir kalinya.

"Berapa hari kita pergi?" dia bertanya.

"Dua belas hari." Aku menebak dua belas karena itu jumlah celana dalamku yang disiapkannya. Dia memelototiku, jadi aku berkata, "Sebelas?"

"Tidak," katanya, "dua belas."

Rani membanting kopernya hingga tertutup dan mendorongnya keluar. "Aku sudah bersusah payah merencanakan perjalanan ini. Setidaknya kamu bisa..."

Perjalanan dengan mobil ke bandara dimulai tanpa suara, tetapi ketika kami hampir sampai, Rani meraih tanganku. "Aku sangat bersemangat," katanya.

Saat kami duduk di kursi tidur kami sebelum lepas landas, aku melihat pria di seberang lorong. "Dia selebriti, kan?" aku bertanya.

Rani membungkuk untuk melihat. Pramugari kami berlutut di samping pria itu, mengambil foto selfie mereka berdua. "Oh. Tuhan." dia berbisik. "Dia Sabda Ahessa."

"Siapa?" Aku balas berbisik, tetapi Rani sangat bersemangat sehingga dia tidak mendengarku.

Kesempatan buatku untuk membaca rencana perjalanan.

***

Hari setelah hari itu

"Ini kamar mandi hotel terbesar yang pernah kulihat," teriakku pada Rani. Suaraku bergema, memantul di dinding marmer putih. "Dan pegangan toiletnya stainless steel."

Rani menyusul masuk. "Ya ampun, ini lebih besar dari kamar tidur. Aneh."

Kami kembali ke kamar tidur dan melihat sekeliling. "Mana kursi meja?" aku bertanya.

Rani menunjuk ke sebuah kursi di sudut. Alih-alih mendorongnya ke bawah meja, untuk beberapa alasan room boy meletakkannya di seberang ruangan jauh dari meja.

"Aneh," katanya lagi. "Tunggu... apakah ini...?" Dia berjalan kembali ke kamar mandi. "Sialan, mereka memberi kita kamar untuk difabel! Mengapa mereka melakukan itu?"

Aku duduk di tempat tidur. "Mungkin kita harus minta kamar lain. Tidak bisa dibiarkan mereka memperlakukan kita seenaknya."

Aku mengangkat telepon di meja malam dan menelepon fornt desk, menjelaskan mengapa kami ingin kamar lain.

"Dia datang," kataku.

"Tunggu," kata Rani. "Apakah kita tidak keterlaluan? Maksudku, aku tidak menentang orang cacat. Apakah kamu?"

Aku menggelengkan kepala. Suara ketukan dan Rani berjalan menuju pintu.

"Tapi," bisikku, "kalau kau meminta kursi dan seseorang memberimu kursi roda, bukankah itu...?"

Rani membukakan pintu untuk petugas dari front desk dan berkata, "Kami baik-baik saja di sini. Maaf mengganggu." Dia mengucapkan selamat malam dan menutup pintu.

"Wow, apa yang baru saja terjadi?" aku bertanya.

***

Sepuluh tahun sebelum hari itu

Aku mengemudi lebih cepat dari biasanya. "Kita mungkin harus menelepon Ayah," kataku.

"Belum," jawab Irfan. "Tidak sampai kita tahu pasti bahwa Iyan baik-baik saja."

"Mekar bilang luka-luka Ian tidak sampai membahayakan jiwa."

Jarum speedometer bergerak ke arah seratus dua puluh.

"Kita tidak tahu pasti."

Irfan mengelap embun dari kaca depan dengan tangannya. "Aku pikir kita harus menunggu."

Baliho tentang terbang ke Autralia dengan harga promo melayang ke belakang secepat kilat.

"Ngomong-ngomong, jangan sampai kelewatan gerbang tol," katanya.

The Bee Gees menyanyikan "Stayin' Alive."

"Kau harus mengganti mp3 nada deringmu sampai Ian keluar dari ruang operasi," kataku.

Irfan menghidupkan speaker Blackberry. "Mekar," katanya.

"Bagaimana dia?"

Mekar mengatakan sesuatu, tetapi isak tangisnya mengganggu kata-katanya. Kami duduk mendengarkan tangisannya. Membiarkannya menangis. Setelah satu atau dua kilometer, Irfan menjadi tidak sabar. "Mekar, Mekar ... Ian sudah keluar dari ruang operasi?"

"Belum," Mekar terisak. "Mereka mengira itu hanya lengan, tapi ternyata juga dadanya." Dia mulai histeris. "Enam kali, dia... menusuk dirinya sendiri..."

"Mekar, Mekar... halo, kamu masih di sana?"

Tidak ada respon.

"Halo?... Sial, kehilangan dia."

"Kau tidak bisa menusuk dadamu sendiri," kataku. "Bukan?"

Mekar menelepon balik. Sulit untuk memahami kata-katanya, tetapi kami cukup mendengar.

Kemudian Irfan memanggil nomor lain dan meletakkan ponsel di telinganya.

"Kau menelepon Ayah?"

"Tidak, psikologku ... halo?"

Aku tertawa terbahak-bahak.

"Brengsek," katanya, menutupi ponsel dengan tangan.

***

Sepuluh tahun setelah hari itu

Aku berbalik dan berbaring telentang, tidak bergerak, menatap bintang-bintang yang mengintip dari langit kelabu di sore hari. Aku memindai bahuku, tulang rusuk, tungkai belakang, siku, lutut, pergelangan kaki, apakah ada cedera atau nyeri.

Seorang polisi menerobos kerumunan kecil yang telah berkumpul dan berjongkok di sampingku. "Jangan bangun, Pak," kata polisi itu.

"Tidak, aku baik-baik saja, sungguh."

"Kepala Bapak mungkin terbentur. Bapak tahu ini hari apa?"

"Rabu, 25 Juli 2029. Ulang tahunku!"

Polisi itu tersenyum. "Selamat ulang tahun. Dan di mana kita sekarang?"

"Stasiun Kota," kataku sambil menunjuk bintang imajiner di langit-langit.

Polisi itu melirik ke langit-langit sebelum membantuku berdiri. "Banyak komuter saat ini," katanya. "Mereka tidak melihat ke mana mereka pergi, jadi Anda harus berhati-hati. Anda yakin tidak apa-apa, Pak?" Aku mengangguk.

Kerumunan kecil bubar dan aku mulai berjalan menuju keretaku dari Jalur 11, tetapi aku melihat seorang pria dari kerumunan masih menatapku.

"Irwan Bastian?" dia bertanya akhirnya, memiringkan kepalanya.

Aku pasti terlihat bingung. Dia mengulurkan tangannya. "Deri Septianto. Saya adalah asisten Anda dua puluh tahun yang lalu."

Aku menjabat tangannya. "Tentu saja, Deri. Bagaimana kabarmu?"

Kami menghabiskan satu menit menyingkat kisah karier kami. Aku bertanya apakah dia sudah menikah dan dia menjawab bahwa dua anak gadisnya sudah remaja. "Si sulung, Sinta, lahir dengan cystic fibrosis." ucapnya. "Jadi ketika istriku hamil lagi, kami melakukan tes gen dan hasilnya baik-baik saja. Kami sangat senang."

Dia menatap lantai. "Tapi ternyata tesnya salah."

Aku mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya. "Aduh, Der. Astaga, aku sangat menyesal mendengarnya."

Dia menatapku dan matanya berkaca-kaca. "Tetapi jika Anda melihat mereka hari ini, Anda akan mengira mereka hanyalah dua gadis remaja biasa. Mereka sama sekali tidak terlihat sakit."

Aku mengangguk, dan kami hanya berdiri di sana sejenak, saling memandang karena tidak ada yang berpaling.

"Senang bertemu dengan Anda, Wan!" dia berkata. "Hati-hati di jalan."

"Kau juga," kataku, dan melihatnya menghilang ke kerumunan seribu orang lainnya yang mencoba berada di tempat lain.

Bandung, 1 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun