Parfumnya memberimu alarm akan kedatangannya. Aroma musk yang kental, yang biasanya bertahan lama setelah dia pergi.
Dia selalu tiba setengah jam sebelum waktu tutup dan tinggal sampai tiba waktunya mengunci pintu. Dia bekerja di media, menurut tag name dan citra kasualnya yang sebagian besar terdiri dari jeans, sepatu sol datar, dan rompi longgar. Rambut selalu diikat menjadi ekor kuda, dengan sulur-sulur yang meliuk-liuk di lehernya.
Bagaimana harimu? adalah pertanyaan yang selalu dia tanyakan dan mulutnya akan tersenyum saat dia menunggu jawabannya.
Kamu akan menanggapi dengan anggukan dan senyuman yang sama, lalu dia akan melempar ranselnya ke kursi usang berlengan di bawah tangga.
Itu adalah waktu favoritnya. Dia akan menyibukkan diri, cukup untuk memungkinkanmu mengawasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Suara di kepalamu dengan nada tinggi menyuruhmu untuk menggodanya.
KALAU KAMU BETUL-BETUL LELAKI, AJAK DIA NGE-DATE. KAMU KIRA DIA DATANG KE SINI CUMA UNTUK NGOPI DAN BACA BUKU?
Tetapi kamu tidak pernah punya keberanian dan dengan setiap putaran kunci di pintu, kamu menggumamkan rasa frustrasi melalui desahan napasmu. Panik akan merayapi otakmu, bahwa kamu mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi.
Kamu ingin memberitahunya, bahwa satu-satunya bagian dari harimu yang berarti adalah setengah jam itu, ketika dia duduk membaca di kursi tua berlengan yang sudah usang. Kadang-kadang dia menyilangkan kaki di bawahnya dan dia membayangkan kalian menua bersama.
Pada hari Sabtu yang hujan di bulan Februari, setelah berbulan-bulan kunjungan tetap harian, dia tiba dengan wajah memerah dan cemas. Pola akrab kalian yang biasa berantakan.
Dia berdiri di ambang pintu seolah-olah dia membutuhkan undangan untuk masuk. Kamu dengan lembut membimbingnya masuk melalui pintu, melewati rak yang penuh dengan buku-buku antik bertuliskan tentang cinta yang hilang. Ketika kalian sampai di kursinya, dia berlama-lama seolah takut untuk duduk.
Tangannya gemetar dan dia mengunyah kuku jarinya. Matanya menatap milikmu.
Rasa cemas naik dari perutmu ke tenggorokan. Ada masalah apa?Â
Dia mendorongmu dengan lembut ke kursi, lalu menjatuhkan tasnya ke lantai dan berlutut di depanmu.
Apa yang dia lakukan?
Perlahan, tangannya mulai bergerak dan wajahnya berkerut penuh konsentrasi. Dia merangkai kata-kata dengan jari-jarinya. Matamu melebar saat menyaksikan dia memberi tanda:
Tempat ini adalah tempat perlindunganku. Ketika segala sesuatu di sekitarku gelap, yang membuatku mampu melewatinya adalah waktu yang kuhabiskan di sini, bersamamu.
Kamu mengangkat tangan dan membalas dengan bahasa isyarat juga:
Apakah kamu belajar bahasa isyarat karena aku?
Kamu mengangguk dan matanya bertahan menatapmu saat kamu beringsut dari kursi ke lantai dan berlutut di depannya.
Kamu meraih wajahnya dengan kedua telapak tanganmu dan menciumnya.
Untuk pertama kalinya.
Untuk selamanya.
Cilandak, 26 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H