Dengan sukarela, Gogon mengikuti Paman Kei ke kamar mandi dan mencoba yang terbaik untuk bekerja sama ketika pakaiannya dilepas dan pamannya membantunya mandi dengan sabun dan air panas.
Gogon tidak merasakan apa-apa. Tidak airnya, tidak panasnya, tidak juga sabunnya. Dia kehilangan semua indranya kecuali penglihatan dan pendengaran. Tidak bisa mencium bau, tidak bisa merasakan apa-apa selain ... tidak ada.
Tidak bisa merasakan sentuhan apapun. Tidak bisa berbicara. Itu aneh.
Terpikir olehnya bahwa mungkin dia sedang koma, bahwa semua ini hanyalah mimpi. Bagaimana dia tahu? Bagaimana dia bisa tahu dengan pasti?
Paman Kei, lelaki itu. Pamanku? Bagaimana bisa?
Dia tidak benar-benar mengingatnya tetapi ada sesuatu yang sangat akrab. Bukan sesuatu. Semuanya. Dia merasa nyaman, tanpa kecemasan atau kekhawatiran.
Paman Kei menggosok tubuhnya, wajahnya, tangannya, rambutnya, lubang di sisi tubuhnya.
"Ini tidak normal", kata Paman Kei. "Beberapa kotoran tidak mau lepas, dan luka berdarah itu. Itu tidak bisa dibersihkan. Aku tahu satu atau dua hal. Percuma pamanmu ini menjadi tukang cukur selama lima puluh tahun. Ada beberapa yang terpikir, tapi, tidak. Belum pernah aku melihat yang seperti ini sebelumnya. Seandainya kau berbicara, Nak. Yah, mungkin tulisanmu akan menjadi lebih baik dan kau dapat memberi tahu Paman apa yang terjadi."
"Astaganaga! Lihat ini!" Paman Kei berteriak sambil melompat mundur. Saat menggosok wajah Gogon, sepetak kulit terkelupas terbawa spons, memperlihatkan otot kasar di baliknya. Gogon menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Kenapa bisa begini?" Paman Kei menggelengkan kepalanya dan membantu Gogon keluar dari bak mandi, mengeringkannya dan membungkusnya dengan jubah usang.
"Baunya masih busuk sekali," gumamnya pada dirinya sendiri. "Dan luka itu, tidak akan hilang sama sekali, tidak banyak berubah. Kalau saja aku tahu...."
Dia berhenti sejenak untuk mempertimbangkan apa yang baru saja terbersit di benaknya. Dia mencoba tertawa tetapi melihat kembali ke keponakannya. Semakin dia memandang, gagasan itu tampak semakin tidak aneh. Dengan penampilan pemudanya, baunya, darahnya, dan kulitnya....
"Sepertinya kau sudah mati", akhirnya dia berkata.
Mereka kembali ke dapur, duduk di meja makan sekali lagi. Gogon belum menyentuh kopinya. Pana Kei sudah minum tiga cangkir. Gogon kembali menulis.
'Di bawah tanah,' tulisnya, memberikan catatan itu kepada Ray, lalu mengambil secarik kertas lain dan mencoret-coret dengan geram.
'Menggali sendiri.'
'Tadi malam', kertas berikutnya.
'Di taman', dia mendorong ke seberang meja.
Paman Kei meletakkan catatan itu berdampingan dan mengulangi kata-katanya, lalu membentuk sebuah kalimat.
"Kau berada di dalam tanah. Menggali dirimu sendiri. Tadi malam. Di taman. Taman Hutan Kota?"
Gogon mengangguk sebisa mungkin.
"Maksudmu, kau dikuburkan di sana?"
Sekali lagi putaran kepala penuh marah terombang-ambing.
Itu masuk akal sekarang. Setelah dia menggali jalan keluar dari kubur, dia telah melupakan semua itu. Dia hanya berpikir harus bergerak. Dia tidak menyatukan satu momen ke momen berikutnya, tetapi setiap momen adalah kenyataan tersendiri. Benar-benar terjadi.
Dan kini dia duduk di sana, berkomunikasi dengan cara tertentu, dia bisa mengingat urutannya, merangkai fakta. Tidak bisa dibantah lagi.
Dia sudah mati.
"Aku rasa itu yang membuat kau menjadi apa yang mereka sebut zombie," Paman Kei menggeleng-gelengkkan kepalanya. "Atau kita lihat sisi baiknya. Mungkin ada yang berpendapat kau sudah dibangkitkan, Nak. Haleluya!"
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H