Wanita tua gila itu lagi-lagi duduk di tangga dengan daster usangnya. Bau kencing. Tetesan liur berceceran di selasar beton yang kotor dan retak, menetes ke anak tangga di bawah, berkilauan dalam cahaya neon yang redup.
 Dia menghalangi jalan kami, maka Syauki berdiri di depannya, dada terbuka, kaki mengangkang, dagunya terangkat sambil berkata "Minggir!".
Biasanya itu sudah cukup untuk membuat orang ketakutan, tetapi si penyihir tua bukan bagian dari urutan kekuasaannya.
Aku berdiri membisu di belakang Syauki, menunggu hal-hal terjadi, sebagian tidak, seperti biasanya. Caraku selalu begitu, sejak selamanya.
 Syauki menarik udara melalui giginya. "Kau menjijikkan," kata Syauki padanya, seperti sedang memulai percakapan. "Kau tahu? Kau menjijikkan."
 Wanita tua gila itu tidak menjawab. Dia hanya menatap kosong ke depan, meremas-remas tangannya, bergumam tak jelas.
Siapa yang mengerti omongan orang gila?
Syauki tidak biasa diabaikan. Tidak oleh siapa pun.
Dia mengangkat kemejanya, menunjukkan kepada wanita tua itu pistol rakitan yang terselip di celana jinsnya, menempel di perutnya seperti 'burung kedua', meletakkan tangannya di atasnya sebagai sugesti.
 Wanaita tua itu masih tidak bereaksi, jadi Syauki menundukkan kepalanya, Menempatkan bibirnya tepat di sebelah telinganya.