Kita terbiasa mencium langit-langit saat ngebut menerobos lampu merah seolah-olah Tuhan bisa menyelamatkan dosa-dosa kita.
Kita mematikan lampu depan saat melaju dalam kegelapan dan berpapasan dengan seorang polisi, menghilang jauh di malam hari seperti ninja. Kita masih muda, bingung, di ambang sesuatu yang entah.
Matamu cokelat kehijauan seperti pusaran bulu merak dan tawamu itu, segar seperti hujan di bulan Juli yang menghantam lidah keringku.
Kamu menulis delapan puluh sembilan surat cinta untukku, yang kumasukkan ke dalam kemari besi untuk diamankan. Tetap saja, aku lupa kombinasinya, jadi aku menyalakan radio lebih keras, mencoba mengingat kata-katamu, perasaan di dalamnya, sampai aku menyelinap pergi, pindah, dan meninggalkan semuanya.
Atau, aku pikir aku sudah melupakan semuanya.
Kemudian, aku tidak menemukan nomormu. Tidak juga alamatmu. Tidak ada jejakmu di mana pun.
Terkadang, saat hujan datang, aku bisa mendengarmu tertawa. Aku mendengar lagu itu, When Doves Cry, dan entah bagaimana waktu berhenti.
Aku pikir aku melihatmu di bawah lampu jalan, atau di dalam bar remang-remang. Aku pikir aku merasakan hadirmu di dekatku, layaknya bisikan lembut di belakang leher, saat musik berdenyut, bergetar, mengguncang langit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H