Dia tidak pernah menjadi bagian dari keluarganya, karena dia aneh.
Keanehan itu sangat jelas tampak di matanya. Yang kanan sebiru air telaga, sebelah kiri cokelat seperti lumpur tergenang.
Namun yang benar-benar membedakannya dari yang lain adalah kerinduan. Tak pernah mereda meski sesaat.
Suatu hari, dia berdiri tanpa alas kaki di jalan. Entyah mengapa, yakin kerinduannya akan membimbingnya ke rumah yang menghantui mimpinya di tepi samudra. Dia berjalan.
Hari, minggu, bulan.
Aspal hitam membuat kakinya melepuh.
Kerinduan itu sirna ketika ia menemukan rumah itu.
Perempuan itu telah menunggunya.
Matanya yang dia perhatikan pertama kali. Satu biru telaga, satunya cokelat lumpur tergenang.
Bandung, 7 Februari 2023