Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nggak Gampang 'Hidup' Sebagai Zombie (Satu)

31 Januari 2023   07:10 Diperbarui: 31 Januari 2023   07:30 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

Gogon berdiri di tepi Taman Lansia, hutan taman umum yang terletak di tebing  atas kota yang terletak di lembah. Pohon-pohon aneka jenis berjajar di tepi sungai Cipoa yang berkelok-kelok. Di kejauhan dia bisa melihat lampu stadion Oray Dano, gedung baru yang dikabarkan berhantu. Gedung itu menandai ujung utara kota.

Lebih dekat dengannya, setengah lusin bangunan tinggi di pusat kota yang menjadi lambang kebangga warga. Lebih dekat lagi, tepi laut yang diabaikan, peninggalan sejarah hari-hari perdagangan awal kota.

Gogon mengalihkan perhatiannya ke lingkungan itu. Dia merasa tertarik ke sana dan mulai berjalan menuruni lereng bukit, menjauhi jalan utama taman, malah memotong punggung bukit berbatu, mengingat samar-samar cerita tentang serigala dan gua rahasia peninggalan penjajah di sekitarnya.

Dia tidak merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak lelah, tidak juga dingin.

Gogon terus berjalan dan  memasuki kota melalui gang-gang sempit dan jalan-jalan kecil yang mengelilingi pelabuhan tua. Dia tidak melihat siapa pun dan cukup yakin bahwa tidak ada yang melihatnya juga.

Di sepanjang tepi sungai ia menemukan jalan sempit dan berbelok ke sana. Pada akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah kuno dan mengamatinya. Di dalam gelap, tetapi karena masih belum fajar, hal itu tidak mengejutkan.

Dia mengamati cat putihnya yang mengelupas dan tangga beton yang menuju ke pintu depan. Seolah-olah dia merasa dirinya ditarik oleh magnet ke halaman rumput dan menaiki tangga itu, dan kemudian dia mendengar tangannya menggedor pintu, menggedornya terus-menerus dalam ritme yang lambat dan tetap. Setelah beberapa menit, pintu terbuka, dan seorang lelaki tua berdiri di depannya, menggosok matanya.

Pria itu tampak sangat akrab dengan potongan rambut pendeknya, wajahnya yang cokelat panjang, kumis segaris, kemeja pantai yang kancingnya lepas.

Dia merasa datang ke rumah ini dan mengetuk pintunya untuk alasan yang baik, meskipun dia tidak tahu lebih dari itu. Dia mencoba tersenyum untuk menyapa, tetapi wajahnya kaku tidak bergerak. Untuk pertama kalinya, dia merasa sedikit bermasalah. Dia tidak mampu melakukan apa yang ingin dia lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun