"Mati... garang-gara terendam air," jeritnya putus asa.
Bahu Miko terangkat. "Jadi gue rasa kita belum bisa order pizza."
"Aku lebih suka menghubungi pembasmi hama."
Tiwi kembali menyeringai dan melepas baterai ponsel, lalu mengeringkan ponsel dengan bajunya yang basah. "Masih ada kemungkinan ponsel ini masih bisa dipakai. Tinggal berharap dan menunggu. "
Bersandar di pohon, Miko menghela napas. "Apa itu penting? Nggak mungkin kita mendapatkan sinyal di negeri antah berantah."
"Kita masih bisa menggunakannya untuk memberi sinyal pada pesawat penyelamat," kata Zaki.
Miko memberinya tatapan bingung. "Padahal mati, gimana caranya?"
Zaki meraih ponsel Tiwi dan menggerakkan jari-jarinya di atasnya. "Bagian luarnya berwarna perak. Matahari akan memantulkannya, dan kita mungkin bisa memberi sinyal pada pesawat. Kilatan cahaya dapat dilihat dari jarak tujuh puluh kilometer."
"Betulkah? Sejauh itu?" tanya Tiwi.
"Ya, dan lu juga bisa pakai apa aja yang mengkilap, seperti ikat pinggang atau tempat minum." Zaki mengembalikan ponsel ke Tiwi. Gadis itu menyelipkan ponsel dan baterai ke dalam saku.
"Tidak ada orang lain yang aku lebih suka terdampar bareng selain kamu, Zak."