Dia menulis puisi yang menyentuh hati tentang orang-orang di atas marmer kaca di Bumi-nya, makhluk-makhluk kecil yang dia intip penuh rasa ingin tahu selama berjalan-jalan di malam hari di bima sakti.
Dengan enggan, dia setuju untuk membuat puisinya dengan bulan lain. Penyuntingan besar-besar dan semua bagian dikerat seperti astronot yang terhempas ke gravitasi atmosfer bebas.
Dia gugup karena bila tiba waktunya, mereka akan dicegat seperti transmisi satelit dan diterjemahkan oleh mereka yang mahir membaca partikel ruang angkasa.
Yang mengejutkannya, bulan-bulan lain juga memiliki puisi orang-orangnya sendiri dalam karya-karyanya.
Mereka seharusnya menulis juga tentang Mars atau Venus, panas yang menyesakkan atau dingin yang tak tertahankan, keluhnya.
Hal ini sangat menekan Bulan, karena dia pernah merasakan ketipak derai kaki kecil orang-orang pada dirinya beberapa bulan yang lalu, bergantung pada keintiman dengan manusia yang tidak dapat diaku oleh bulan lain. Tapi tidak ada bulan di seluruh semesta yang mempercayainya.
Kemudian, ketika memudar dan menyendiri, dia menyembunyikan puisinya di bawah beberapa jejak kaki pucat. Itu menjadi satu-satunya puisi bulan yang pasti, tepat di sebelah kawah raksasa yang diukir oleh air mata yang dibaca jutaan orang setiap malam melalui teleskop.
Bandung, 29 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H