Tidak ada lagi berpura-pura.
Tami menangkup kopinya yang mengepul di tangannya dan menghirup aromanya yang sangat dikenalnya, mencoba menenangkan sarafnya. Setelah duduk sebentar di salah satu kursi krom yang dingin, dia bergegas kembali ke tempatnya di konter. Dia ingin menatap mata Johan.
Dia membayangkan kekhawatirannya, "Oh, aku sangat menyesal mendengarnya, Tami," jika nanti dia bercerita tentang penahanan putranya Keenan baru-baru ini karena menjual narkoba. Atau lukanya yang dalam saat mengetahui bahwa suaminya berselingkuh di belakangnya dengan instruktur pribadinya yang berusia dua puluh dua tahun.
Gadis itu lebih muda dari putra mereka, demi Tuhan!
Atau mungkin Johan akan dengan lembut menepuk lengannya ketika dia mendengar tentang benjolan yang ditemukan dokter di payudaranya awal minggu ini.
Pintu mengayun terbuka, dan di sana berdiri Johan, pria setinggi 180 cm penuh percaya diri dengan kemeja polo biru ceria dan celana khaki. Bersiul seperti biasa.
Jantung Tami berdetak kencang di dadanya.
"Selamat pagi. Apa kabarnya hari ini?" tanyanya sambil menuju mesin kopi, sama seperti yang dilakukannya setiap pagi.
Tami membeku.
Otaknya bagai lemari arsip, dan seseorang baru saja menyeggol terkutuk itu sampai jatuh. Semua kata dan kalimatnya berserakan di lantai linoleum abu-abu.
Dia mencoba dengan panik untuk menyatukan pikirannya yang kusut.